Latest News

Analisis: Indra Sjafri Bukan Pelatih Biasa

Nasihin Masha
Nasihin Masha

ANALISA,Oleh Nasihin Masha

Untuk kali pertama, saya meminta pendapat publik untuk tema Resonansi kali ini. Melalui akun Facebook saya bertanya sebaiknya menulis tentang Bunda Putri atau menulis tentang timnas U-19. Mayoritas menyarankan untuk menulis tentang timnas U-19. Alasannya sederhana. Menulis tentang Bunda Putri hanya mengeksploitasi sisi kelam Indonesia. Mereka sudah lelah, menyebalkan. Sedangkan, membicarakan timnas U-19 justru sebaliknya. Kita berbicara tentang optimisme dan mempromosikan kebaikan. Itulah syarat bagi Indonesia untuk menjadi bagian dari breakout nations.
Suara mereka sangat dekat dengan suara Indra Sjafri, sosok di balik kisah sukses timnas. Indra selalu optimistis. Indra juga selalu yakin dengan timnya. Indra juga selalu bicara tentang nasionalisme kala bicara pekerjaannya sebagai pelatih. Lihat pernyataan pelatih Korea Selatan usai kekalahan timnya dari Indonesia. Saat ditanya siapa pemain terbaik Indonesia, dengan tersenyum dia justru menjawab singkat: “Setiap tim yang menang, pasti karena pelatihnya yang bagus.” Kita merasakan Manchester United tanpa Alex Ferguson atau membayangkan Arsenal tanpa Arsene Wenger.

Indra Sjafri adalah anomali. Ia adalah sebuah penyimpangan dari arus utama pengelolaan sepak bola Indonesia. Ini jika kita melihatnya dari perspektif struktural. Namun, jika kita melihatnya dari arus kultural, Indra Sjafri adalah kesejatian. Ia mewakili suara murni bangsa dan pesepak bola Indonesia. Sejatinya, bangsa ini baik. Sejatinya, bangsa ini memiliki pemain dan pelatih yang bagus. Namun, semuanya dikurung para pengelola yang buruk. Bakat-bakat sepak bola Indonesia menjadi tak berarti. Potretnya paling jelas pada pertandingan Indonesia melawan Cina pada babak kualifikasi Piala Asia, di Jakarta, Selasa lalu.

Timnas senior mewakili arus utama sepak bola Indonesia selama ini. Stamina hanya prima untuk 20 menit pertama, bermain tanpa semangat dan daya juang, dan bertaburan pemain naturalisasi. Hal ini sangat kontras dengan permainan timnas U-19. Mereka berstamina bagus. Mampu bermain baik selama 90 menit, bahkan tetap bagus walau ada perpanjangan waktu 2X15 menit. Kedigdayaan energi mereka tampak terlihat saat melawan Laos. Sejumlah pemain semenanjung Indocina itu bertumbangan karena kram. Mereka tak tahan secara terus-menerus diajak bermain cepat.

Ciri timnas U-19 adalah daya juang mereka yang sangat tinggi. Walau dikepung beberapa pemain, mereka terus berjuang. Semua pemain bergerak mencari tempat untuk mendapat posisi terbaik atau merebut bola. Tak ada pemain yang menunggu umpan atau berjalan-jalan. Mereka bermain sebagai sebuah tim untuk saling mendukung dan untuk mengkreasi suatu skema permainan. Mereka juga tipe petarung, tak takut cedera. Mirip pemain-pemain MU. Mereka bukan tipe pemain salon. Mereka mewakili jiwa spartan bangsa Indonesia. Seperti leluhur bangsa ini, mereka merebut kemerdekaan, bukan menerima hadiah kemerdekaan seperti sejumlah bangsa lain.

Di sisi lapangan, Indra jarang duduk di bangku. Ia berdiri. Ia ikut basah kuyup diguyur hujan. Ia mengawasi dan memberi perintah. Ia benar-benar mengontrol dan menyemangati para pemainnya. Ia memang ingin membangun keteladanan dan karakter para pemainnya. Paling terlihat ketika pergantian pemain. Para pemain yang diganti mencium tangannya. Sebelum memulai permainan, para pemain berdoa dengan khusyuk. Usai mencetak gol, para pemain bersujud syukur atau bersyukur dengan cara lain sesuai agama pemain. Indra tak hanya melatih teknik individu, stamina, skema permainan, dan kekompakan tim. Ia juga membangun mental para pemainnya.

Namun, kekhawatiran mulai menyembul. Indra sadar masih ada sejumlah kelemahan di timnya. Untuk bermain baik di tingkat Asia, apalagi menargetkan lolos ke Piala Dunia U-20 pada 2015, Indra harus menaikkan level permainan. Teknik individu harus lebih dirapikan, kerja sama tim harus diperbaiki, stamina harus masuk ke level prima, dan bisa bertarung bola-bola atas. Saat melawan Korea Selatan, dua kelemahan yang tampak terlihat adalah kedodoran saat bermain bola atas dan stamina yang mulai menurun di 20 menit terakhir. Karena itu, Indra mengusulkan agar timnya diuji melawan tim Eropa. Apakah Indra bisa mempertahankan idealismenya saat meminta anggaran ke PSSI?

Musuh terbesar sepak bola Indonesia adalah nepotisme-kronisme, judi, dan intervensi pengurus. Inilah yang membuat semua bakat, dukungan publik yang luar biasa, dan pengorbanan uang yang besar menjadi musnah. Di saat Indra membutuhkan uang, di saat itu pula penyakit mengintai.

Indra adalah produk rezim sebelumnya, yang kini sudah tersingkir oleh rezim saat ini. Saat itu Indra diberi keleluasaan untuk merekrut pemain. Ia harus blusukan mencari pemain ke pelosok negeri, ke tim-tim junior milik klub, ke sekolah sepak bola. Ia menolak titipan pemain dari siapa pun, misalnya dari pengurus, mantan pemain nasional, pejabat, dan sebagainya. Saat mencari bakat, dia pun menembus berbagai hambatan. Dia tahu benar, para pemain yang disodorkan bisa saja tak murni hasil seleksi yang fair. Karena itu, ia menggali informasi dari mana pun untuk mendapatkan pemain terbaik. M Syahrul Kurniawan, misalnya, ia dapat berdasarkan informasi tukang ojek.

Indra telah menunjukkan kepada publik bahwa timnya bisa memainkan sepak bola yang enak ditonton. Ia mencoba memainkan gaya Arsenal atau Barcelona dengan satu-dua sentuhan dan operan-operan pendek. Ia juga mengukur kualitas fisik pemain dengan standar VO2 max. Ia menerapkan disiplin ketat, melarang pemainnya tampil di "infotainmen". Kepatuhan pemain terlihat dengan kedisiplinan menerapkan strategi yang ia instruksikan. Namun, para bandar judi tentu tak akan berhenti berusaha. Mereka bisa menyelinap lewat siapa saja. Para artis yang sempat meramaikan dunia sepak bola Indonesia juga diduga bagian dari mafia judi. Mereka bisa memencet pengurus atau keluarganya. Mereka bisa menggunakan cara apa pun, termasuk rekrutmen di klub liga.

Nasionalisme dan idealisme Indra diharapkan bisa menjadi benteng semua musuh sepak bola Indonesia. Baginya, membangun tim itu tak bisa instan. Semua melalui proses yang panjang. Karena itu, ia sangat menolak naturalisasi pemain. Indonesia bangsa besar, katanya. Ia juga tak mau terlibat konflik di PSSI. “Saya punya pegangan untuk Merah Putih. Semua yang saya lakukan untuk Indonesia,” katanya.

Indra bukanlah pelatih biasa. Ia seorang pionir. Ia punya visi, integritas, karakter, dan dendam pada keterkaparan sepak bola Indonesia. Indra mengajarkan kepada kita bahwa untuk maju bukan sekadar melihat angka-angka, tapi juga pada proses dan jiwanya. Sepak bola bukan sekadar teknik dan teknologi tapi sebuah produk budaya. Kita bisa mengukur sampai di mana budaya kita lewat sepakbola. 

  • Komen yuk!!, jangan lupa centang "Also post on Facebook" :)
  • BERITA TERKINI Designed by Templateism.com Copyright © 2014

    Theme images by Bim. Powered by Blogger.