BERITA TERKINI, Beredarnya dokumen berupa proposal
pembongkaran makam Rasulullah SAW di Madinah, kembali menyentak sisi
keagamaan kita. Benarkah rencana itu ada? Akankah Muslim dan ulama
Indonesia menegaskan penolakan bersama?
Sebagaimana
ditulis hampir seluruh media massa, saat ini beredar proposal setebal 61
halaman tentang pembongkaran makam dan pemindahan sisa jenazah
Rasulullah oleh pemerintah Arab Saudi. Sebenarnya isu itu isu lama.
Sebelum kembali heboh saat ini, tahun lalu isu itu juga menimbulkan
gonjang-ganjing di dunia Islam.
Saat itu, selain menyoal
penghilangan satu persatu peninggalan Rasulullah –rumah Nabi, rumah
Khadijah, rumah Fatimah dst, bahkan timbul kritik atas penataan Mekkah
yang dilakukan pemerintah Saudi.
Irfan al-Alawi, direktur Islamic
Heritage Research Foundation, memperingatkan niat pembongkaran makam
Rasulullah tersebut. Kepada koran The Independent, Al-Alawi
menyatakan kekecewaannya. "Orang-orang ingin mengunjungi ruang tempat
keluarga Rasulullah pernah tinggal," ujar dia. "Kini semua itu akan
dihancurkan karena pemerintah Arab Saudi menganggapnya sirik dan praktik
penyembahan berhala."
Surat kabar Timur Tengah, worldbulletin, mengritik
pembangunan Mekkah ala Dinasti Saudi. “Atas nama haji,” tulis koran
tersebut, “Kota suci itu sekarang sesak dengan gedung pencakar langit,
pusat perbelanjaan dan hotel mewah.” Yang membuat Muslim dunia
terperanjat, warisan arkeologi bangsa Arab sendiri diinjak-injak di atas
nama konstruksi modern dan ajaran Wahabi yang memandang peninggalan itu
membawa sirik.
"Tidak seorang pun punya nyali untuk berdiri dan
mengutuk vandalisme budaya ini," kata Al-Alawi. "Kami sudah kehilangan
400-500 situs,” kata dia. Asal tahu saja, hanya untuk membangun Hotel
Clock Tower yang sudah berdiri saat ini, pemerintah saudi mendinamit
seluruh gunung dan Benteng Ayjad peninggalan era Ottoman yang terletak
di atasnya. Di ujung lain Komplek Masjidil Haram, rumah istri pertama
Nabi, Khadijah, kini telah berubah menjadi blok toilet.
Wajar bila
tahun lalu, dari Indonesia sendiri muncul buku yang mengkritik
pembangunan Mekkah yang nyaris tanpa arah. “Ketika Mekkah Menjadi
Seperti Las Vegas,” adalah judul buku laris karangan Mirza Tirta Kusuma
itu.
Persoalannya, akankah rencana pembongkaran makam Nabi itu menyulut solidaritas dan ghirah
(semangat relijius) Muslim Indonesia? Pasalnya, ketika rencana itu
pertama kali muncul di awal abad 20 lalu, respons perkara itu di
Indonesia adalah terbentuknya Nahdlatul Ulama (NU).
Awalnya, para
ulama Indonesia yang keberatan dengan rencana pembongkaran itu membentuk
Komite Hijaz. Komite itu mengemban misi penyelamatan makam Rasulullah
dari upaya penghancuran oleh pemerintah Arab Saudi. Pemerintah Saudi
yang memeluk faham Wahabi terkenal sangat membenci ziarah kubur,
bahkan menyamakannya dengan perbuatan khurafat yang mendekati sirik.
Rencana itu membuat gelisah para kyai dan ulama Indonesia, Jawa
khususnya.
Pada 1924-1925 itu Arab Saudi baru saja berdiri dengan
bantuan Inggris. Prosesnya nyaris seperti tergambar dalam film ‘Lawrence
of Arabia’ yang dibintangi Peter O’Toole. Negeri itu dipimpin Ibnu
Saud, yang sejak zaman kakeknya sudah berhubungan dan beraliansi erat
dengan Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri faham Wahabi. Sejak menguasai
tanah haram, ruang gerak untuk mengerjakan ajaran faham 4 mazhab yang
pernah berjalan damai di masjid Haram dan Masjid Nabawi, terganggu.
Semasa itulah terjadi eksodus para ulama dari seluruh dunia keluar
Saudi. Mereka kembali ke negara asal masing-masing, termasuk para
pelajar Indonesia yang tengah menuntut ilmu di tanah Hijaz.
Komite
Hijaz pun mengirimkan utusan untuk menemui Raja Ibnu Saud. Utusan
itulah yang kemudian dikenal sebagai Komite Hijaz, dipimpin KH Abdul
Wahab Chasbullah.
Persoalannya, karena untuk pengiriman itu
dibutuhkan organisasi formal, sementara Indonesia sendiri masih dalam
penjajahan Belanda, didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 1926. NU-lah
kemudian yang secara formal mengirimkan delegasi menemui Raja Ibnu Saud.
Ada
lima permohonan Komite Hijaz, salah satunya untuk pembatalan
pembongkaran makam Nabi tersebut. Kita tahu, Komite itu sukses terutama
pada tujuan pendiriannya yang utama.
Kini, perlukah umat Muslim Indonesia kembali membentuk ‘Komite Hijaz’ dan mendatangi Raja Arab Saudi? (src:inilah.com)