Lurah Lenteng Agung Susan Jasmine
Zulkifli menemui anggota polisi yang berjaga usai demo warga di Kantor
Kelurahan Lenteng Agung, Rabu (28/8/2013).
BERITA TERKINI, KOMPAS.com — Unjuk rasa sebagian warga
Kelurahan Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan, menolak Lurah Susan
Jasmine Zulkifli karena perbedaan agama menyiratkan pertanyaan. Sejauh
mana gagasan Jakarta Baru dan pluralisme mampu bertahan dari
gejolak-gejolak primordialitas sekelompok warga?
Penempatan Lurah Susan Jasmine di Lenteng Agung membuat gerah
sejumlah warga. Mereka menunjuk pada perbedaan agama Nasrani sang lurah
yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi warga Lenteng Agung yang
mayoritas Islam. Mereka membentuk Forum Warga Lenteng Agung sebagai
wadah unjuk rasa menentang keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
terkait dengan penempatan Lurah Lenteng Agung.
Sedikitnya, sudah tiga kali forum itu menggelar unjuk rasa sejak
Susan menjabat Lurah Lenteng Agung. Aksi pertama dilakukan 26 Agustus
2013 di Balaikota, Jakarta. Dua hari kemudian, mereka berunjuk rasa di
Kantor Kelurahan Lenteng Agung dan terakhir pada 25 September. Sejauh
ini, sikap sang lurah wanita tampak tegar: tak menanggapi pendemo dan
menjalankan tugas keseharian lurah dengan melayani warga.
Menanggapi permintaan warga, Gubernur Provinsi DKI Jakarta Joko
Widodo menegaskan bahwa penempatan dan pencopotan lurah berdasarkan
kompetensi. Evaluasi terhadap lurah hasil lelang jabatan akan dilakukan
setelah mereka menjabat enam bulan pertama. Hasil evaluasi inilah yang
dipakai sebagai dasar penggantian lurah (Kompas, 28/8/2013).
Sebelumnya, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama juga
menanggapi aksi itu dengan keras. Ia menyatakan, Pemprov DKI tidak dapat
memberhentikan seseorang dari jabatan hanya sekadar urusan agama sebab
keyakinan yang dianut setiap orang bukan merupakan tindakan melanggar
aturan.
Dukungan terhadap kebijakan Pemprov DKI untuk mempertahankan
Lurah Susan mengalir pula dari kalangan masyarakat umum. Dukungan itu
antara lain datang dari MUI Jakarta, Partai Kebangkitan Bangsa DKI
Jakarta, DPP Partai Amanat Nasional (PAN), dan tokoh masyarakat, seperti
Jusuf Kalla, Prabowo Subianto, Syafii Maarif, dan Sultan Hamengku
Buwono IX.
Sebaliknya, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi justru memberikan
solusi yang terkesan mendukung pengunjuk rasa. Mendagri menyarankan agar
Pemprov DKI mengevaluasi penempatan Susan di Lenteng Agung yang
menimbulkan protes sejumlah warga karena tidak mau dipimpin lurah yang
bukan seorang Muslim. ”Ada prinsip dalam penempatan seseorang dalam
jabatan, yaitu the right man on the right place, atau the right man on the right job. Nah, ini kiranya bisa jadi pertimbangan DKI,” ujar Gamawan (Kompas, 26/9/2013).
Sikap Mendagri itu sontak mendapat tanggapan keras dari Wakil
Gubernur DKI Basuki. ”Ini negara Pancasila, pemilihan dan penempatan
pejabat bukan ditentukan oleh orang yang menolak atau mau. Pak Mendagri
harus belajar lagi konstitusi,” kata Basuki. Pro dan kontra menyikapi
Lurah Susan itu akhirnya menjadi polemik yang semakin berkembang di
masyarakat. Meski belakangan Gamawan menyatakan bahwa omongannya
dipelintir oleh wartawan sehingga tak sesuai dengan apa yang dia maksud
dan ia merasa dirugikan oleh pemberitaan mengenai evaluasi jabatan Lurah
Susan, sikap Gamawan itu telanjur menyebar di masyarakat.
Pembaruan birokrasi
Perubahan pejabat lurah Lenteng Agung berawal dari kebijakan
reformasi birokrasi lelang jabatan lurah dan camat yang dilakukan
pasangan Gubernur Joko Widodo dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama,
April lalu. Lelang jabatan dilakukan sebagai terobosan mengubah
struktur, kultur, aparatur, dan sistem pemerintahan di DKI Jakarta
sebagai salah satu program perubahan Jakarta Baru yang menekankan pada
pelayanan masyarakat. Sebelumnya, pengisian jabatan birokrasi cenderung
berorientasi pada status quo dan bermental majikan atau ingin
dilayani bawahan. Bahkan, terkadang aparat birokrasi memanfaatkan
kewenangannya untuk meraih keuntungan pribadi. Alhasil, pengisian
jabatan lurah cenderung diisi kandidat yang sudah bisa diprediksi
sebelumnya.
Salah satu lurah yang terpilih melalui lelang jabatan secara
terbuka adalah Susan Jasmine Zulkifli, yang sebelumnya menjabat Kepala
Seksi Prasarana dan Sarana Kelurahan Senen, Jakarta Pusat. Susan meraih
nilai 151,64 dengan predikat cukup memuaskan sekali dan dilantik sebagai
Lurah Lenteng Agung, Juli lalu. Sebelum terpilih, lulusan sarjana
Administrasi Negara di FISIP Universitas Indonesia 1997 ini harus
melewati tahap-tahap proses seleksi lelang jabatan.
Tahap pertama seleksi administrasi, kemudian uji kompetensi
bidang yang menguji pengetahuannya seputar komunikasi, kewilayahan,
pemerintahan, analisis risiko, pemecahan masalah, dan membangun kerja
strategis. Selanjutnya uji kompetensi manajerial yang antara lain
menyampaikan visi dan misi, tes psikologi, tes kepemimpinan, dan
wawancara. Terakhir adalah uji kesehatan dan verifikasi dokumen.
Jika ditelisik lebih jauh, penolakan sejumlah warga Kelurahan
Lenteng Agung kepada Lurah Susan diduga memiliki beberapa motif. Motif
pertama diduga berlatar belakang intrik persaingan internal. Dugaan ini
muncul saat Jokowi menunggu laporan Inspektorat Badan Kepegawaian Daerah
DKI Jakarta terkait dengan kinerja dan prestasi dari Susan sebagai
lurah, termasuk apakah ada oknum-oknum tertentu di balik aksi warga
karena mengincar posisi lurah. Motif kedua terkait dengan adanya orang
yang memolitisasi isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA),
seperti yang dikemukakan Sekretaris Jenderal PDI-P Tjahjo Kumolo.
Motif berikutnya, aksi unjuk rasa menolak Lurah Susan diduga
digerakkan provokator dan sebagian pendemo bukan dari warga Lenteng
Agung, seperti diakui Wali Kota Jakarta Selatan Syamsuddin Noor.
”Sebagian berasal dari luar Lenteng Agung, tapi masih di Kecamatan
Jagakarsa. Justru kalangan tua yang menerima, tapi kalangan muda yang
menolak Bu Lurah,” kata Syamsuddin, Kamis (26/9/2013).
Kasus serupa pernah terjadi di Kecamatan Malalayang, Manado,
Sulawesi Utara. Warga Kelurahan Malalayang 1 Barat dan Malalayang 2 yang
tergabung dalam Aliansi Masyarakat Bantik (Amab) menolak lurah baru di
dua kelurahan itu karena bukan asli warga suku Bantik.
Pluralisme
Dukungan luas yang muncul terhadap Lurah Susan mencerminkan aspek
yang lebih luas menyangkut persoalan berbangsa dan bernegara, yakni
pluralisme dan kemajemukan. Yenni Wahid, aktivis pluralisme, menyatakan
siap membantu Lurah Lenteng Agung mengatasi pendemo yang menuntut
pencopotan dari jabatan lurah.
Ketua PAN Bara Hasibuan menilai, desakan warga yang meminta
penggantian Susan justru menunjukkan rendahnya pemahaman terhadap
penghormatan nilai-nilai Pancasila dan kemajemukan sebagai fondasi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal senada disuarakan Laode Ida,
Wakil Ketua DPD, yang mendesak pemerintah pusat berperan aktif dalam
mempromosikan dan memperkuat prinsip Pancasila dengan mempromosikan
nilai toleransi di masyarakat.
Pluralisme yang merupakan sikap menerima dan menghargai terhadap
keragaman sesungguhnya pernah ditanamkan Gus Dur. Semasa menjabat
presiden, banyak keputusan bernuansa pluralisme lahir dari dirinya,
sebut saja, misalnya, penggantian nama Irian Jaya menjadi Papua,
mengusulkan mencabut TAP MPRS No XXIX/MPR/1966 tentang pelarangan faham
Marxisme-Leninisme, Imlek sebagai hari libur nasional, dan melindungi
kaum minoritas, baik etnis maupun agama, dari ancaman pihak mayoritas. (Dwi Erianto)
Sumber: Kompas.com