SEJARAH, Pernahkah anda mendengar kisah Mahabharata? lebih-lebih lagi mereka para
pecinta wayang, Kisah ini tidak asing lagi. Kisah
ini aslinya dari India bercerita tentang peperangan antara kebenaran
melawan dan kejahatan. Kisah
Mahabharata adalah kisah mengenai egoisme kekuasaan yang mengalahkan
keadilan dan kisah pahit antara para perebut kekuasaan yang notabene
adalah saudara satu sama lain, atau sahabat. Tapi nggak semua begitu
sih, ada juga yang musuhan.
Menariknya, ada beberapa tokoh penting yang sebenarnya lebih
mempunyai peran paling penting untuk menggagalkan terjadinya pertempuran
berdarah di Kurukshetra. Misalnya, Sri Khrisna, Yudhistira, kemudian
Bhisma dan Durna, serta yang akan saya angkat di dalam tulisan ini
adalah Raja Destarata.
Siapakah Raja Destarata ini? Dia adalah keturunan Wicitrawiya dari
Putri Ambalika. Masih sodaraan tiri (1 ayah beda ibu) sama Pandu – ayah
(tiri seharusnya) dari para Pandawa – yang berasal dari 1 cabang
keturunan yang sama (keturunan Sentanu). Destarata terlahir buta.
Menurut kisah Mahabharata, ibunya menutup mata ketika mengikuti upacara
Putrotpadana yang diselenggarakan oleh Resi Byasa untuk memperoleh
keturunan. Destarata yang terlahir buta harus merelakan tahta
Hastinapura (ibukota kerajaan Kuru) kepada Pandu, padahal Destarata lah
yang berhak menerima tahta tersebut. Wafatnya Pandu, membuat Destarata
menjadi raja yang kemudian menikahi Putri Gandari. Anak-anak dari Raja
Destarata adalah 100 Korawa (yang menjadi lawan Pandawa di Perang
Kurukshetra), Dursala, dan Yuyutsu.
Karena Raja Destarata adalah seorang yang buta, maka dia memiliki 3
penasihat bijaksana yaitu Bisma (putra Dewi Gangga), Durna (putra
Brahmana Bharadwaja), Kripa, serta saudara tirinya Widura (lahir dari
dayang yang dibawa Putri Ambalika). Raja ini begitu menyayangi putranya
yang merupakan salah satu Korawa, Duryudana.
Kesalahan Destarata
Walaupun Destarata itu buta, tapi dia dibantu oleh para
penasihat-penasihat sakti. Tapi, rasa sayang begitu besar kepada
putranya Duryudana membuat hatinya ikut-ikutan buta. Duryudana begitu
menginginkan kekuasaan sehingga ketakutan akan ancaman Yudhistira dan
saudara-saudaranya yang disebutnya akan merebut kekuasaan Hastinapura.
Duryudana pun merencanakan hal-hal yang jahat kepada para Pandawa.
Destarata mengetahui rencana-rencana kejahatan yang disusun oleh
Duryudana untuk membunuh para Pandawa. Bahkan Destarata mengetahui
hal-hal yang dilakukan Duryudana adalah salah sehingga harus dihukum
ataupun dicegah dengan tindakan yang tegas. Tapi Destarata tidak
melakukannya, malahan dengan mulut “berbisa” Duryudana dan beberapa
sekutunya, Destarata seakan mengiyakan dan mendukung rencana-rencana
Duryudana.
Peristiwa pertama, adalah ketika Duryudana mendengar rakyat yang
memuji-muji Yudhistira sebagai orang yang berhak atas tahta ketimbang
Destarata dan Bhisma. Duryudana menjadi panas sehingga merencanakan
pembunuhan di Waranawata. Sempat terjadi adu mulut antara ayah dan anak.
Tapi setelah Destarata mengungkapkan pandangannya mengenai Pandawa dan
hukuman yang akan diterima oleh keturunannya kelak, Duryudana malah
mengatakan “kekhawatiran ayahanda sama sekali tidak beralasan…” Para
sekutu Duryudana pun makin menambah provokasi, seperti kata Kanika
“Paduka sebaiknya berhati-hati dengan putra-putra Pandu karena kebaikan
hati dan pengaruh mereka bisa berakibat bagi Paduka dan putra-putra
Paduka…”. Sayang, Raja yang awalnya menentang rencana tersebut malah
terlihat goyah dan mendukung rencana itu. Bahkan raja pun dengan munafik
menyuruh para Pandawa menuju ke sana.
Destarata, seperti yang ditulis dalam Mahabharata, cenderung munafik.
Seolah-olah dia bersikap netral, tapi dalam hatinya dia bersikap
subjektif. Dalam sayembara memperebutkan Drupadi, putri dari Raja
Panchala, Destarata menunjukkan rasa senang yang dibuat-buat karena
mengetahui para Pandawa masih hidup dari kejadian Waranawata. Destarata
juga rupanya khawatir akan tahta dan kekuasaannya yang ditakutkan akan
jatuh ke tangan para Pandawa. Duryudana berujar “… kita sudah tidak
punya pilihan lagi. Kita hancurkan mereka (Pandwa) sekarang atau mereka
yang akan datang menghancurkan kita lebih dahulu. Mohon petunjuk
ayahanda”. Jika Destarata merupakan raja yang bijak, sudah sepatutnya
dia memperingati Duryudana bahwa hal yang disampaikannya bukan hal yang
bijak. Malahan kata raja “anakku, apa yang kau katakan benar… sekarang,
aku ingin mendengar bagaimana rencana kalian yang selanjutnya”.
Setelah dinasihati Bhisma dan Karna, Destarata akhirnya berbalik dari
hasutan anaknya untuk memberikan setengah kerajaan kepada Pandawa (yang
memang adalah hak mereka). Pandawa yang berlindung di bawah Raja
Panchala pun kembali ke Hastinapura disambut dengan sorak-sorai. Raja
Destarata memberikan setengah kerajaan kepada Pandawa, Yudhistira
dinobatkan menjadi raja. Kerajaan mereka beribukota di Kandawaprashta
yang diubah namanya menjadi Indraprasta. Namun, kejahatan yang didiamkan
raja belum berakhir.
Ketidaksukaan Duryudana kepada Pandawa makin menjadi-jadi setelah
Yudhistira dinobatkan menjadi Maharaja. Saat melihat kemegahan istana
Indraprastha dan Yudhistira yang memerintah dengan adil dan baik, dia
tenggelam dalam rasa iri yang mendalam. Sampai-sampai, Sengkuni yang
duduk disebelahnya melemparkan hasutan “mengapa engkau diam saja? Jangan
bersedih”. Duryudana yang melakonlis rupanya saat itu langsung
mengeluarkan curhatannya “Yudhistira dikelilingi para saudaranya. Dia
seperti Dewa Indra, raja para dewa…” Sengkuni yang rupanya tidak
menyukai kejayaan Pandawa menghasut Duryudana “…aku tahu cara mengusir
Yudhistira dari Indraprastha tanpa harus berperang atau menumpahkan
darah”.
Duryudana tahu, sekarang dia hanya membutuhkan dukungan Destarata.
Untuk hal yang demikian, dibutuhkan lidah seorang Sengkuni agar
Destarata memberikan dukungan terhadap undangan Duryudana pada
Yudhistira. “Tuanku Raja, Duryudana dilanda kesedihan dan rasa cemas.
Tetapi, mengapa Paduka tidak menghiraukan kesedihan dan kecemasannya?”
Sengkuni mengawali pembicaraan. Destarata begitu menyayangi Duryudana
sehingga menanyakan hal tersebut kepada dia. Setelah ditanyakan, rasa
iri dan benci menyembur dalam kata-kata yang bagai air keluar dari
bendungan yang jebol.
Destarata belum kehilangan kebijaksanaan sebenarnya. “…Kebencian
hanya akan membuahkan kesedihan dan kematian. Apalagi mereka tidak
bersalah…” Duryudana yang menerima jawaban itu tidak menyukai sikap
ayahnya hingga berkata dengan tidak sopan.
Terjadi perdebatan antara ayah dan anak tersebut. Terlebih ketika
maksud dan Duryudana dan Sengkuni yang ingin mengundang Yudhistira
bermain dadu dan merebut kekayaan dan kerajaan Pandawa dengan cara yang
curang. Destarata masih tegas dengan pendiriannya “…Permainan dadu hanya
akan menyeret kita ke dalam permusuhan. Nafsu serakah yang ditimbulkan
permainan ini tidak mengenal batas. Kita tidak boleh melakukannya”.
Jelas di sini Destarata masih memiliki akal sehat untuk mencegah anaknya
berbuat yang tidak diinginkan. Tapi, Duryudana masih mencoba memaksa
ayahnya tersebut “seni memimpin kerajaan yang baik terletak pada
kemampuan mengenyahkan ketakutan dan melindungi diri dengan kekuatan
sendiri.. Permainan dadu bukanlah siasat buatan kita…” Destarata tidak
mampu menolak keinginan anaknya, dan dia hanya berkata “lakukanlah apa
yang kau ingin lakukan. Tapi, aku tidak merestuinya…”. Widura sempat
memperingatkan Destarata “tuanku, permainan itu pasti akan menghancurkan
bangsa kita…”.
Sialnya, tokoh protagonis dari Mahabharata, Yudhistira, mengiyakan
ajakan Duryudana tersebut. Lebih memilih mematuhi etika kesopanan sesama
ksatria yang tidak boleh menolak undangan bermain dadu. Yudhistira
ternyata gemar bermain judi, dan dia tergoda untuk meladeni ajakan
Duryudana yang diwakili Sengkuni di meja permainan. Dan seperti yang
sudah diduga, Yudhistira kalah telak. Awalnya taruhan hanya berupa
perak, emas dan permata. Lama-kelamaan menjadi saudara, mulai dari
Nakula, Sadewa, Arjuna, Bima, hingga dirinya sendiri dan isterinya
Drupadi.
Penyesalan selalu datang belakangan, kalau datang di depan namanya
pendaftaran. Kata orang-orang. Begitu pula yang dialami oleh Destarata.
Setelah Bima mengucapkan sumpah untuk membunuh salah satu anaknya, dia
datang menghampiri Yudhistira untuk meminta maaf. Destarata baru
melakukan hal bijak saat telah terjadi hal yang memalukan. Tapi, tentu
saja hal itu tidak disenangi oleh Duryudana yang terhasut oleh
komplotannya. Rencana kedua dijalankan sama seperti dengan cara yang
pertama, bermain dadu. Yudhistira yang tidak kapok-kapoknya, menerima
tantangan itu dan kehilangan waktu 13 tahun. 13 tahun adalah waktu yang
diberikan untuk mengasingkan diri tanpa ketahuan, jika ketahuan, maka
dihitung lagi dari awal.
Destarata, kembali bertanya kepada Widura “bagaimana tanggapan
rakyat?”. Widura menyampaikan pendapatnya, bahwa rakyat menyalahkan raja
dan anak-anaknya. Tapi masih ada pertanda buruk lagi, yang kemudian
disampaikan oleh Batara Narada “14 tahun lagi terhitung hari ini, bangsa
Kurawa akan musnah…”. Destarata, seperti umumnya yang terjadi pada
manusia, menyesali perbuatannya di belakang “Aku tidak mengikuti jalan
dharma dan pemerintahan yang baik. Aku membiarkan diri dibawa ke jalan
yang salah oleh anakku yang bodoh… kita sedang menyongsong jurang
kehancuran”.
Setelah kejadian kejahatan yang secara tidak langsung didukung oleh
Destarata, Duryudana pun tidak lagi menganggap kata-kata ayahnya.
Kembalinya para Pandawa dari pengasingan selama 13 tahun menuntut apa
yang menjadi hak mereka yaitu kerajaan mereka. Tapi Duryudana yang
keras kepala tidak menepatinya. Maka terjadilah apa yang disebut perang.
Destarata sudah dinasihati Widura agar mencegah terjadinya peperangan
dengan memberikan apa yang menjadi hak para Pandawa. Sayang, kata
Destarata “… Tapi apa yang aku bisa lakukan? Anak-anakku yang serakah
tidak akan mendengarkanku dan memilih jalan mereka sendiri”. Menurut
saya, karena sedari awal Destarata sudah tidak tegas, maka anak-anaknya
merasa tidak perlu dikhawatirkan mengenai ayahnya. Toh ayahnya akan
selalu berkata ya. Dan akhirnya, klimaks dari Mahabharata terjadi tanpa
bisa dicegah. Dan diujung kisah, tidak lain tidak bukan yang ada
hanyalah kematian, penyesalan, dan ratapan akibat perang.
Sifat Destarata bukan tidak ada di Indonesia. Sifat-sifat tersebut
ada di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mulai dari rakyat kecil
hingga sekelas presiden. Menginginkan kekuasaan dan menjaganya. Korupsi
pun lahir. Kecurangan-kecurangan pun timbul. Tidak heran kalau suatu
saat negara ini akan mengalami kehancuran seperti para Korawa. Kita
lebih membiarkan peristiwa-peristiwa yang lebih menyenangkan bagi kita
terjadi saat ini tapi diujung jalan malah membawa kita ke dalam
kehancuran. Contohnya adalah kepemimpinan di negara ini. Karena satu
pihak mengeluh dirugikan, maka para pemimpin di negara (entah itu dari
presiden hingga bupati/walikota) lebih merasa mementingkan mereka yang
mengeluh ketimbang menghitung dampak jika keluhan tersebut di akomodir.
Kebijakan mobil murah, adalah upaya untuk meningkatkan pendapatan
nasional melalui penjualan mobil-mobil murah tersebut. Walaupun sudah
diingatkan untuk tidak membeli bahan bakar non-subsidi, tapi seperti
Destarata pada akhirnya tidak didengarkan.
Penegakan korupsi. Bagaimana kita bisa menegakkan korupsi jika kepada
relasi kita yang korupsi kita tidak tegas. Terhadap diri sendiri saja
kita tidak tegas, bagaimana kita bisa tegas terhadap sesuatu yang bukan
diri kita. Lihat saja bagaimana gambaran kepemimpinan saat ini, kuat
terhadap sesuatu yang tidak berhubungan dengan bukan relasinya (seperti
kata-kata “bodoh” di dunia maya oleh ibu presiden) tapi malah bersuara
lantang ketika disinggung (sampai-sampai harus menunjuk kuasa hukum atas
nama keluarga). Akhirnya, seperti ada pembiaran yang dilakukan. Seperti
halnya Destarata yang membiarkan anaknya berbuat curang hingga
menghancurkan keturunannya. Tapi setidaknya rakyat Indonesia tidak
seperti Destarata, membiarkan pemimpin pilihannya melakukan kesalahan
kemudian kita membiarkannya.
Mahabharata menyajikan tentang banyak kisah menarik mengenai
perbedaan antara ksatria dan pengecut, dharma dan karma, berkat dan
kutukan. Setiap perbuatan menentukan perbedaan tersebut. (src:auvijanfamily)