"Apa Hukumnya Bercadar?" Oleh Nashih Nasrullah (Wartawan Republika)
HIKMAH, Penampilan “ala ninja” sebagian Muslimah memang
mengundang perhatian sejumlah kalangan. Sebagian masyarakat bahkan
menganggap hal itu sedikit aneh, bahkan cenderung memandang fenomena itu
sebelah mata.
Padahal, persoalan bercadar masuk dalam ranah ijtihad yang patut
dihormati, apa pun argumentasinya. Lalu, seperti apakah hukum mengenakan
busana penutup wajah itu?
Pada 1995, cendekiawan Muslim Syekh Yusuf al-Qaradhawi pernah mengeluarkan fatwa soal hukum bercadar.
Sebelum memaparkan ragam pandangan ulama terkait hukum menutup
keseluruhan muka dengan menyisakan kedua mata ataupun bahkan menutup
total sembari memberi kain transparan di bagian penglihatan, Ketua
Persatuan Ulama se-Dunia ini menegaskan perdebatan menyoal cadar yang
masuk ranah ijtihad.
Ulasannya tak akan pernah selesai, lewat berbagai media dan forum
ilmiah apa pun selama terdapat indikator perbedaan cara pandang dan
metode pengambilan hukum atas varian dalil di sana. “Saling hormati
jangan dipertentangkan,” kata alumnus Universitas Al-Azhar Mesir, itu.
Ulama yang kini menetap di Qatar itu pun memaparkan, pendapat
mayoritas ulama ialah, hukum bercadar tidak wajib dan boleh menampakkan
bagian luar, yaitu wajah dan kedua telapak tangan.
Ini seperti dinukilkan dari sejumlah kitab fikih mazhab, yakni kitab
al-Ikhtiyar yang bercorak Hanafi, Aqrab al-Masalik ila Madzhab Malik
mewakili Mazhab Maliki, sedangkan dari Mazhab Syafii bisa merujuk
al-Muhadzab karangan as-Syairazi. Sementara, untuk Mazhab Hanbali bisa
menyunting kitab Ibnu Qudamah al-Mughni.
Beberapa dalil yang jadikan dasar, di antaranya, tafsir surah an-Nur
ayat 31. Penafsiran kalimat “kecuali yang (biasa) tampak darinya”
menurut sebagian besar ulama adalah wajah dan kedua telapak tangan. Agar
lebih detilnya, uraian tafsir ayat itu bisa membaca kitab karangan Imam
as-Suyuthi, ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma'tsur.
Ini diperkuat pula dengan tafsiran kalimat “Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya” pada ayat yang sama. Jika bercadar diwajibkan, mestinya
akan disebutkan secara jelas untuk menutup muka total di ayat itu.
Argumentasi tersebut didukung dengan hadis, antara lain, riwayat
sahih Abu Dawud dari Aisyah RA. Rasulullah SAW menyatakan, perempuan
yang telah melalui masa haid wajib mengenakan aurat kecuali yang biasa
terihat. “Kecuali bagian ini dan ini,” sabdanya. Rasul menunjuk bagian
muka dan kedua telapak tangan.
Meski demikian, Syekh al-Qaradhawi menggarisbawahi, ketentuan tidak
wajibnya bercadar bukan berarti mengenakan burqa tersebut dilarang.
Siapa pun yang hendak bercadar silakan.
Apalagi, bila ia berkeyakinan tengah muncul fitnah. Memang, jika
dalam kondisi merebaknya fitnah itu, para ulama menyarankan bercadar.
Sekalipun, belum ditemukan dalil yang secara tegas memerintahkan menutup
keseluruhan muka.
Pendapat ini diamini juga oleh Lembaga Fatwa Dar al-Ifta, Mesir.
Setelah memaparkan sejumlah perbedaan pandangan seperti uraian di atas,
lembaga yang saat ini digawangi oleh Syekh Syauqi Ibrahim Abd el-Karim
Allam itu menegaskan, bercadar dan menutup kedua telapak tangan bukan
perkara wajib, tetapi hukumnya sebatas boleh.
Silakan saja bercadar, tetapi bila sekadar berjilbab biasa, juga
telah dianggap sah. Seraya menambahkan, bahwa agar ketentuan syar'i
berbusana Muslimah tetap diperhatikan, yaitu tidak transparan dan tidak
ketat.
Bahkan, cedekiawan Muslim terkemuka almarhum Syekh al-Ghazali
menyatakan bahwa cadar merupakan mode berbusana tradisi Arab klasik
untuk membedakan antara perempuan baik-baik dan budak nakal saat itu.
Sumber: Republika Online