HIKMAH, "Menangis yang Bermutu" Oleh HM Rizal Fadillah
Orang menangis untuk banyak keadaan. Anak kecil menangis karena ingin sesuatu. Merajuk orang tuanya agar memenuhi keinginannya itu. Seorang yang diputuskan cinta oleh kekasihnya menangis karena sedih berpisah. Serupa dengan yang ditinggalkan wafat oleh kerabat atau orang dekat.
Ada pula yang menangis karena terharu membaca tulisan pengalaman orang lain. Kita pun bisa menangis ketika mendapat kebahagiaan. Pada intinya menangis adalah ekspresi perasaan yang dalam terhadap sesuatu yang menyentuh hatinya.
Dari Anas Ra Rasulullah setelah membaca ayat “..wa quuduhaan naasu walhijaaroh..” (Dan bahan bakar neraka adalah manusia dan batu..)—QS Al Baqarah 24. Lalu Beliau SAW bersabda “Api di neraka dipanaskan selama seribu tahun hingga berwarna merah. Kemudian dipanaskan seribu tahun lagi hingga berwarna putih, dan terus dipanaskan hingga berwarna hitam. Maka sekarang warnanya hitam dan nyalanya tidak bisa dipadamkan”.
Perawi mengatakan bahwa di depan Rasulullah SAW ketika itu duduk seorang Habsyi yang berkulit hitam. Mendengar hal itu, dia menangis. Tentu ia keliru mempersepsikan warna kulit dengan bahan bakar hitam manusia neraka.
Menangis paling buruk adalah pura-pura menangis. Hatinya sebenarnya gembira. Kepura-puraan adalah sifat munafik. Ini yang sering disebut dengan air mata buaya. Buaya jika sudah memakan mangsa dan merasa kenyang, maka matanya mengeluarkan air mata.
Menangis yang baik adalah menangis konteks agama, karena takut kepada Allah. Karena hal itu akan berpengaruh terhadap perilaku kehidupan sehari-harinya. Jibril as berkata bahwa Allah SWT berfirman, “Demi Kemulian-Ku demi Keagungan-Ku, demi Ketinggian-Ku di atas Arsy-Ku, barangsiapa di antara hamba-Ku menangis karena takut kepada-Ku, Aku akan membuat dia tertawa sepuas-puasnya nanti di dalam Surga!”
Nah ayat-ayat Alquran yang kita baca sebenarnya melatih agar hati kita menjadi lunak dan mudah tersentuh. Benar cara membaca, bagus bacaan dan memahami makna ayat adalah modal dasar bagi sentuhan-sentuhan iman yang dapat membuat kita menangis. Makanya jika bermakmum pada imam shalat yang hafidz Qur’an kita sering melihat imam terisak-isak menangis saat mengimami.
‘Ubaid bin ‘Umair r.a menceritrakan bahwa suatu ketika Umar bin Khattab mengimami shalat shubuh dan membaca surat Yusuf. Ketika ia membaca ayat “Wa tawallaa ‘anhum wa qoola yaa asafaa ‘alaa yuusufa wa abyadhdhot ‘ainaahu minal huzni...” (Dan dia berpaling dari mereka dan berkata “Betapa kesedihanku untuk Yusuf” Dan matanya menjadi putih karena sedih....)—QS Yusuf 84 maka ia menangis terisak-isak dan tak sanggup melanjutkan bacaan, lalu segera ruku.
Abdullah bin Mas’ud r.a menceritrakan Nabi SAW menyuruhku untuk membaca Quran. Aku berkata, ”Akankah saya membaca Alquran di depan engkau padahal ia diturunkan kepadamu Ya Rosulullah ?”. Beliau berkata “Aku ingin mendengarkan AlQuran dari orang lain”. Maka aku membaca surat An Nisa dan ketika sampai ayat 41 “Bagaimana jadinya jika Kami datangkan kepada setiap kaum seorang saksi, dan kami datangkan engkau sebagai saksi kepada mereka”. Rosulullah SAW bersabda “Cukuplah !”. Ketika aku memandang wajah Rosulullah SAW aku melihat air mata berlinangan dari kedua mata beliau.
Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa ketika ayat-ayat ini diturunkan, “Afamin haadzaal hadiitsi ta’jubuun—Watadhhakuuna walaa tabkuun” (Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini ? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis ?)—QS AN Najm 59-60. Maka para shahabat ahli suffah menangis sedemikian rupa sehingga air mata mereka membasahi pipi dan janggut-janggut mereka. Ketika Rasulullah SAW mendengar tangisan mereka, beliau pun ikut menangis dan kami semua ikut menangis.
Ketika Rasulullah SAW wafat, tak ada satu pun umat yang hadir atau mendengarnya tidak menangis. Betapa kepergian Beliau diantarkan oleh tangisan rasa syukur dan terima kasih pada keteladanan, perhatian, dan pengorbanan yang sangat besar.
Bukan saja untuk sahabat yang mengelilinginya tapi untuk umat dan pengikut kemudiannya. Malaikat pun menangis bahagia menyambut kembalinya sang kekasih Allah.
Orang menangis untuk banyak keadaan. Anak kecil menangis karena ingin sesuatu. Merajuk orang tuanya agar memenuhi keinginannya itu. Seorang yang diputuskan cinta oleh kekasihnya menangis karena sedih berpisah. Serupa dengan yang ditinggalkan wafat oleh kerabat atau orang dekat.
Ada pula yang menangis karena terharu membaca tulisan pengalaman orang lain. Kita pun bisa menangis ketika mendapat kebahagiaan. Pada intinya menangis adalah ekspresi perasaan yang dalam terhadap sesuatu yang menyentuh hatinya.
Dari Anas Ra Rasulullah setelah membaca ayat “..wa quuduhaan naasu walhijaaroh..” (Dan bahan bakar neraka adalah manusia dan batu..)—QS Al Baqarah 24. Lalu Beliau SAW bersabda “Api di neraka dipanaskan selama seribu tahun hingga berwarna merah. Kemudian dipanaskan seribu tahun lagi hingga berwarna putih, dan terus dipanaskan hingga berwarna hitam. Maka sekarang warnanya hitam dan nyalanya tidak bisa dipadamkan”.
Perawi mengatakan bahwa di depan Rasulullah SAW ketika itu duduk seorang Habsyi yang berkulit hitam. Mendengar hal itu, dia menangis. Tentu ia keliru mempersepsikan warna kulit dengan bahan bakar hitam manusia neraka.
Menangis paling buruk adalah pura-pura menangis. Hatinya sebenarnya gembira. Kepura-puraan adalah sifat munafik. Ini yang sering disebut dengan air mata buaya. Buaya jika sudah memakan mangsa dan merasa kenyang, maka matanya mengeluarkan air mata.
Menangis yang baik adalah menangis konteks agama, karena takut kepada Allah. Karena hal itu akan berpengaruh terhadap perilaku kehidupan sehari-harinya. Jibril as berkata bahwa Allah SWT berfirman, “Demi Kemulian-Ku demi Keagungan-Ku, demi Ketinggian-Ku di atas Arsy-Ku, barangsiapa di antara hamba-Ku menangis karena takut kepada-Ku, Aku akan membuat dia tertawa sepuas-puasnya nanti di dalam Surga!”
Nah ayat-ayat Alquran yang kita baca sebenarnya melatih agar hati kita menjadi lunak dan mudah tersentuh. Benar cara membaca, bagus bacaan dan memahami makna ayat adalah modal dasar bagi sentuhan-sentuhan iman yang dapat membuat kita menangis. Makanya jika bermakmum pada imam shalat yang hafidz Qur’an kita sering melihat imam terisak-isak menangis saat mengimami.
‘Ubaid bin ‘Umair r.a menceritrakan bahwa suatu ketika Umar bin Khattab mengimami shalat shubuh dan membaca surat Yusuf. Ketika ia membaca ayat “Wa tawallaa ‘anhum wa qoola yaa asafaa ‘alaa yuusufa wa abyadhdhot ‘ainaahu minal huzni...” (Dan dia berpaling dari mereka dan berkata “Betapa kesedihanku untuk Yusuf” Dan matanya menjadi putih karena sedih....)—QS Yusuf 84 maka ia menangis terisak-isak dan tak sanggup melanjutkan bacaan, lalu segera ruku.
Abdullah bin Mas’ud r.a menceritrakan Nabi SAW menyuruhku untuk membaca Quran. Aku berkata, ”Akankah saya membaca Alquran di depan engkau padahal ia diturunkan kepadamu Ya Rosulullah ?”. Beliau berkata “Aku ingin mendengarkan AlQuran dari orang lain”. Maka aku membaca surat An Nisa dan ketika sampai ayat 41 “Bagaimana jadinya jika Kami datangkan kepada setiap kaum seorang saksi, dan kami datangkan engkau sebagai saksi kepada mereka”. Rosulullah SAW bersabda “Cukuplah !”. Ketika aku memandang wajah Rosulullah SAW aku melihat air mata berlinangan dari kedua mata beliau.
Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa ketika ayat-ayat ini diturunkan, “Afamin haadzaal hadiitsi ta’jubuun—Watadhhakuuna walaa tabkuun” (Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini ? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis ?)—QS AN Najm 59-60. Maka para shahabat ahli suffah menangis sedemikian rupa sehingga air mata mereka membasahi pipi dan janggut-janggut mereka. Ketika Rasulullah SAW mendengar tangisan mereka, beliau pun ikut menangis dan kami semua ikut menangis.
Ketika Rasulullah SAW wafat, tak ada satu pun umat yang hadir atau mendengarnya tidak menangis. Betapa kepergian Beliau diantarkan oleh tangisan rasa syukur dan terima kasih pada keteladanan, perhatian, dan pengorbanan yang sangat besar.
Bukan saja untuk sahabat yang mengelilinginya tapi untuk umat dan pengikut kemudiannya. Malaikat pun menangis bahagia menyambut kembalinya sang kekasih Allah.
Sumber: Republika Online