Presiden Susilo Bambang Yudhoyono - (Foto: inilah.com)
POHUWATO ONLINE, Jakarta - Presiden Mesir Mohamad Morsi Rabu
(3/7/2013) dikudeta militer. Morsi dikudeta karena militer menganggap
dia tidak berhasil memenuhi janji-janjinya untuk mengakhiri krisis
multidimensi di Mesir.
Presiden dari warga sipil itu
digantikan untuk sementara oleh seorang hakim senior. Militer
menjanjikan akan menggelar Pemilu untuk memilih Presiden yang baru.
Sekalipun yang menggantikan Morsi bukan seorang militer. tetapi
berhubung yang menempatkan Presiden baru itu para pemimpin militer, maka
pemerintahan saat ini, sama saja dengan pemerintahan militer.
Sistem
militer bukanlah sebuah konsep yang buruk. Tetapi sejarah dunia memberi
pelajaran, di luar sistem militer masih ada yang lebih baik, yaitu
sistem demokrasi.
Walaupun militer menjanjikan akan menggelar
Pemilu untuk memilih Presiden yang baru, tetapi hampir dapat dipastikan,
Pemilu yang dimaksud bakal berjalan secara tidak demokratis. Sehingga
Presiden terpilih nanti, hampir dapat dipastikan seorang pemimpin yang
tidak pro demokrasi.
Militer memang bukan satu-satunya kekuatan
politik yang mendongkel Morsi dari kekuasaan. Tetapi sesuai laporan
media-media internasional, semuanya menyebutkan militer merupakan faktor
penentu dalam kudeta itu. Dengan kata lain, kalau pun ada kekuatan
non-militer yang mendukung pendongkelan Morsi, tetapi kekuatan tersebut
hanya sekadar pelengkap.
Jadi kalau tidak ada peran dan
determinasi yang kuat dari militer Mesir, belum tentu kekuatan lainnya
berani melakukan pendongkelan atau menjatuhkan Presiden Morsi.
Mesir
merupakan negara yang terletak di belahan dunia yang cukup jauh dari
Indonesia. Sehingga bisa jadi, perkembangan politik domestik di negara
tersebut, tidak lagi menyedot banyak perhatian di Indonesia.
Akibat
lain, alasan militer melakukan kudeta, diterima mentah-mentah oleh elit
Indonesia. Termasuk para pemimpin politik setingkat Presiden SBY.
Kesimpulan demikian mengemuka, sebab tindakan militer yang menghancurkan
pilar-pilar demokrasi, diamini begitu saja.
Pemimpin Indonesia
khususnya Presiden SBY sepertinya melihat kudeta militer di Mesir
sah-sah saja atau menempatkan peristiwa itu sebagai sebuah urusan dalam
negeri Mesir. Padahal alasan militer untuk melakukan kudeta, di negara
manapun itu dilakukan, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip
demokrasi.
Sudah begitu militer yang melakukan kudeta di Mesir
melakukan kebohongan publik. Mereka menuding, Morsi tidak sangggup
menjadi pemimpin yang diharapkan bangsa Mesir. Padahal siapapun yang
memimpin Mesir saat ini atau nanti, mustahil dalam waktu dua tahun sudah
bisa mengakhiri semua krisis yang terjadi di negara tersebut.
Bagaimana
kejatuhan Hosni Mobarak, rezim yang sudah berkuasa selama 32 tahun,
telah menyebabkan banyak kerusakan dalam demokrasi dan berbagai sistem.
Morsi sebagai pengganti Mubarak, sepintar apapun dia, tak mungkin
langsung bekerja secara efektif.
Salah satu kebohongan yang dibuat
militer atau pengkudeta adalah dengan tidak mengakui bahwa Morsi sudah
pernah menggelar referendum tidak lama setelah dia menjadi presiden.
Referendum itu untuk mencari tahu apakah rakyat yang memilihnya secara
demokratis, masih mempercayainya. Hasilnya, yah, rakyat masih tetap
mempercayainya.
Sehingga jika sekarang militer menganggap Morsi
sudah gagal memenuhi janjinya, anggapan itu terlalu dibuat-buat atau
dikarang-karang. Dari perspektif ini kudeta di Mesir tidak bisa dianggap
sebagai persoalan yang hanya menjadi urusan rakyat Mesir. Kudeta di
Mesir harus dilihat sebagai peristiwa yang dapat terjadi di mana saja
termasuk di Indonesia.
Dengan alasan itu maka apapun alasannya,
kudeta di salah satu negara Timur Tengah itu, merupakan pengingkaran
atas prinsip-prinsip universal yang saat ini sudah diadopsi oleh hampir
semua negara di dunia. Yaitu pemilihan pemimpin harus dilakukan melalui
Pemilu.
Pemimpin yang patut diakui hanyalah yang dipilih secara
demokratis oleh rakyat dan bukan oleh sekelompok bersenjata yang
memaksakan kehendak. Oleh karena itu sekalipun Morsi secara de facto sudah tidak punya kekuasaan, tetapi secara de jure ia masih perlu dan tetap diakui.
Dalam
konteksi ini, bila perlu Indonesia menegaskan tidak mengakui
pemerintahan di Mesir yang dibangun atas penggulingan kekuasaan. Morsi
dengan segala kekurangan dan kelebihannya, harus dilihat sebagai
pemimpin yang dipilih secara demokratis.
Keistimewaan Morsi
terletak pada keberhasilannya memenangkan Pemilu demokratis yang baru
pertama kali diselenggarakan di Mesir. Sehingga penggulingannya
merupakan sebuah aksi yang langsung menentang hak-hak demokrasi dari
tiap individu.
Oleh sebab itu pergantian kekuasaan melalui kudeta
tersebut, patut ditentang. Karena jika tidak, kudeta dianggap sebuah
pemerintahan yang sah, dan bakal dijadikan model oleh kekuatan militer
manapun di negara lainnya. Termasuk di Indonesia.
Penentangan atas
kudeta militer, tidak boleh ditafsirkan sebagai bagian dari upaya
membangkitkan kebencian terhadap kekuatan militer. Sekali lagi tidak!
Tetapi yang menjadi sasaran adalah ajakan kepada semua pihak untuk
menegakkan dan menghormati demokrasi sebagai sebuah sistem yang valid di
semua kehidupan.
Kudeta militer di Mesir juga patut disoroti
sebab di Indonesia, negara yang dipimpin oleh Presiden SBY, sepertinya
tidak memperlihatkan sikap yang seharusnya. Indonesia sebagai salah satu
negara demokrasi terbesar di dunia, tidak membela Presiden yang
terguling.
Sikap seperti itu bisa menimbulkan salah tafsir. Yaitu
Presiden SBY yang berasal dari kelompok militer, selain seorang demokrat
sejati tapi pada satu sisi bisa juga menerima sistem yang
menginjak-nginjak demokrasi.
Sikap Indonesia yang dicerninkan
Presiden SBY, semakin tidak patut, sebab Indonesia seolah-olah telah
menempatkan Mesir sebagai negara yang tidak punya ikatan historis dan
emosional dengan Indonesia.
Pemimpin Indonesia saat ini
sepertinya, sudah melupakan sejarah hubungan kedua negara. Mesir
merupakan salah satu negara di dunia yang secara spontan memberi
pengakuan atas kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17
Agustus 1945.
Pengakuan Mesir atas kemerdekaan Indonesia, menjadi
salah satu alasan mengapa Indonesia mendapatkan banyak simpati dan
dukungan dari negara-negara di Timur Tengah dan Afrika.
Di luar
itu, Mesir bersama Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi
cikap bakal berdirinya Gerakan Non Blok (GNB). GNB sendiri merupakan
sebuah gerakan yang menggunakan demokrasi sebagai jargon, bagi
kebangkitan semua negara terjajah pasca-Perang Dunia Kedua. Sebagai
sesama anggota GNB, Indonesia dan Mesir seharusnya memiliki kepentingan
yang sama dalam penerapan demokrasi.
Presiden SBY boleh saja tidak
bersikap, karena memang begitulah mungkin sifat dan karakter Presiden
ke-6 RI tersebut. Yaitu lebih suka menempatkan diri pada posisi yang
aman. Tetapi dari sudut apapun kudeta militer di Mesir memberi
pembelajaran yang sangat berharga bagi para advokat atau pembela sistem
demokrasi.
Oleh sebab itu sangat wajar jika pergantian kekuasaan
di Mesir patut diberi respon yang jelas oleh rakyat dan penguasa di
Indonesia. Sebagai sesama negara yang juga tengah menghadapi krisis
multi dimensi, Indonesia seharusnya prihatin dengan kejatuhan Presiden
Morsi. Bukan saja karena Morsi seperti halnya SBY yang terpilih melalui
pemilu langsung, tetapi pergantian kekuasaan melalui kudeta tersebut,
tidak memiliki alasan yang kuat.
Kudeta hanya menghancurkan
pilar-pilar demokrasi. Kudeta hanya akan memperpanjang krisis multi
dimensi. Kudeta hanya memberi keuntungan bagi segelintir individu.
Kudeta hanya akan menghidupi individu-individu yang haus kekuasaan.
Akhirnya kita berharap, selain krisis politik bisa segera berakhir, penyakit kudeta di Mesir tidak merambah ke Indonesia. [mdr]
Sumber: INILAH.COM