Pertama: Dosa kecil tersebut sudah menjadi kebiasaan dan dilakukan terus menerus.
Terdapat sebuah hadits yang maknanya shahih (benar), namun didhoifkan (dilemahkan) oleh para ulama pakar hadits,
لاَ كَبِيْرَةَ مَعَ الاِسْتِغْفَارِ وَ لاَ صَغِيْرَةَ مَعَ الإِصْرَارِ
“Tidak
ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar (meminta ampun pada
Allah) dan tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus.”[1]Kalau dosa besar sudah ditaubati, maka janganlah diikuti dengan dosa lainnya yang semisal, begitu pula janganlah diteruskan dengan dosa-dosa kecil.
Kedua: Dosa bisa dianggap besar di sisi Allah jika seorang hamba menganggap remeh dosa tersebut. Oleh karenanya, jika seorang hamba menganggap besar suatu dosa, maka dosa itu akan kecil di sisi Allah. Sedangkan jika seorang hamba menggaggap kecil (remeh) suatu dosa, maka dosa itu akan dianggap besar di sisi Allah. Dari sinilah jika seseorang mengganggap besar suatu dosa, maka ia akan segera lari dari dosa dan betul-betul membencinya.
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
إِنَّ
الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَأَنَّهُ قَاعِدٌ تَحْتَ جَبَلٍ يَخَافُ أَنْ
يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَإِنَّ الْفَاجِرَ يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ
عَلَى أَنْفِهِ
“Sesungguhnya seorang mukmin melihat
dosanya seakan-akan ia duduk di sebuah gunung dan khawatir gunung
tersebut akan menimpanya. Sedangkan seorang yang fajir (yang gemar
maksiat), ia akan melihat dosanya seperti seekor lalat yang lewat
begitu saja di hadapan batang hidungnya.”[2] Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
إِنَّكُمْ
لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالاً هِىَ أَدَقُّ فِى أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ ،
إِنْ كُنَّا نَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم -
الْمُوبِقَاتِ
“Sesungguhnya kalian mengerjakan amalan
(dosa) di hadapan mata kalian tipis seperti rambut, namun kami (para
sahabat) yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganggap dosa semacam itu seperti dosa besar.”[3]Bilal bin Sa’ad rahimahullah mengatakan, “Janganlah engkau melihat kecilnya suatu dosa, namun hendaklah engkau melihat siapa yang engkau durhakai.”
Ketiga: Memamerkan suatu dosa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ
أُمَّتِى مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ
يَعْمَلَ الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ
رَبُّهُ فَيَقُولُ يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا
وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ
يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku akan
diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di antara bentuk melakukan
jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi
harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai
fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal
semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi
harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.”[4]Keempat: Dosa tersebut dilakukan oleh seorang alim yang dia menjadi panutan bagi yang lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ
سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ
عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ
أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan
kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat
baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi
dosanya sedikitpun.”[5]Sehingga bagi seorang alim yang menjadi panutan lainnya, hendaknya ia: [1] meninggalkan dosa dan [2] menyembunyikan dosa jika ia terlanjur melakukannya.
Sebagaimana dosa seorang alim bisa berlipat-lipat jika ada yang mengikuti melakukan dosa tersebut, maka begitu pula dengan kebaikan yang ia lakukan. Jika kebaikan tersebut diikuti orang lain, maka pahalamu akan semakin berlipat untuknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَنَّ
فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ
مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ
“Barangsiapa
melakukan suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya,
maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang
mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka
peroleh.”[6]Semoga Allah selalu memudahkan kita untuk melaksanakan kebaikan dan menghindarkan kita dari setiap dosa. Amin Ya Mujibas Saa-ilin.
Disarikan dari penjelasan Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah dalam kitab Mukhtashor Minhajul Qoshidin, hal. 242, terbitan Darul ‘Aqidah, cetakan pertama, 1426 H
Terinspirasi di saat Allah menurunkan berkah air dari langit di Pangukan-Sleman, 10 Rabi’ul Akhir 1431 H, 25/03/2010
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
[1] Dhoiful Jaami’ no. 6308. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan pula oleh Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab dengan sanad lainnya dari Ibnu ‘Abbas namun mauquf (perkataan Ibnu ‘Abbas), periwayatnya tsiqoh (terpercaya). Riwayat ini pun munqothi’ (terputus) antara Qois bin Sa’ad (dia orang Mekkah), ia katakan bahwa Ibnu ‘Abbas berkata.
[2] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6308.
[3] Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6492.
[4] HR. Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990, dari Abu Hurairah.
[5] HR. Muslim no. 1017
[6] Idem.
Sumber: http://pribadimanfaat.blogspot.com