Oleh: Ahmad Sahal Hasan, Lc
Hikmah – Definisi
taubat menurut bahasa diambil dari kata “at-taubah” bentuk “isim
masdar” berarti ar-rujuu’ (kembali). Sedangkan menurut istilah, taubat
adalah kembali dari kondisi jauh dari Allah swt menuju kedekatan
kepada-Nya. Atau : pengakuan atas dosa, penyesalan, berhenti, dan tekad
untuk tidak mengulanginya kembali di masa yang akan datang.
Mengapa kita harus bertaubat?
Pertama, karena manusia pasti berdosa.
Karena dosa adalah penghalang antara kita dan Sang Kekasih (Allah swt), maka lari dari hal yang membuat kita jauh dari-Nya adalah kemestian.
Dosa pasti membawa kehancuran cepat atau lambat, maka mereka yang berakal sehat pasti segera menjauh darinya.
Jika ada manusia yang tidak melakukan dosa, pasti ia pernah berkeinginan untuk melakukannya. Jika ada orang yang tidak pernah berkeinginan melakukan dosa, pasti ia pernah lalai dari mengingat Allah. Jika ada orang yang tidak pernah lalai mengingat Allah, pastilah ia tidak akan mampu memberikan hak Allah sepenuhnya. Semua itu adalah kekurangan yang harus ditutupi dengan taubat.
Kedua, karena Allah swt memerintahkan kita bertaubat,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersama Dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” At Tahrim:8
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” An Nuur:31
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang Telah ditentukan dan dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” Hud:3
Ketiga, karena Allah mencintai orang yang bertaubat,
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” Al Baqarah:222
Keempat, karena Rasulullah saw senantiasa bertaubat
Padahal beliau seorang nabi yang ma’shum (terjaga dari dosa). Beliau bersabda : “Demi Allah, sesungguhnya aku meminta ampun dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau beristighfar seratus kali dalam sehari.
Syarat-Syarat Taubat
1. Penyesalan dari dosa karena Allah.
2. Berhenti melakukannya.
3. Bertekad untuk tidak mengulanginya di masa datang.
4. Dilakukan sebelum nyawa sampai di tenggorokan ketika sakaratul maut, atau sebelum matahari terbit dari barat.
5. Jika dosa berkaitan dengan sesama manusia, maka syaratnya bertambah satu: melunasi hak orang tersebut, atau meminta kerelaannya, atau memperbanyak amal kebaikan.
Dosa Kecil Menjadi Besar di Sisi Allah
Pertama, jika dilakukan terus menerus,
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui.” Ali Imran:135
Dosa besar yang hanya dilakukan sekali lebih bisa diharapkan pengampunannya dari pada dosa kecil yang dilakukan terus menerus.
Kedua, jika seorang hamba meremehkannya.
Setiap kali seorang hamba menganggap besar sebuah dosa niscaya akan kecil di sisi Allah, dan setiap kali ia menganggap remeh sebuah dosa niscaya akan menjadi besar di sisi-Nya.
Abdullah bin Mas’ud ra berkata : “Seorang mukmin memandang dosanya bagaikan gunung yang akan runtuh menimpa dirinya, sedangkan seorang pendosa menganggap dosanya seperti seekor lalat yang menclok di hidungnya, cukup diusir dengan tangannya.” (Bukhari-Muslim).
Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata : “Jangan kamu memandang kecilnya dosa, tapi lihatlah kepada siapa kamu berbuat dosa itu”
Ketiga, jika dilakukan dengan bangga atau minta dipuji,
Seperti seseorang yang mengatakan : “Lihat, bagaimana hebatnya saya mempermalukan orang itu di depan umum!?” Atau seperti ucapan seorang pedagang : “Lihat, bagaimana saya bisa menipu pembeli itu!?”
Keempat, jika seseorang melakukan dosa tanpa diketahui orang lain lalu ia menceritakannya dengan bangga kepada orang lain.
Rasulullah saw bersabda : “Setiap ummatku selamat kecuali orang-orang yang terang-terangan berlaku dosa. Dan diantara perbuatan terang-terangan melakukan dosa ialah jika seseorang berdosa di malam hari sementara Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi hari ia merobek tirai penutup itu sambil berkata : “Hai Fulan, semalam aku melakukan ini dan itu.” (Bukhari-Muslim).
Kelima, jika yang melakukannya seorang alim yang menjadi panutan.
Karena apa yang ia lakukan dicontoh oleh orang lain. Ketika ia melakukan dosa, maka ia juga mendapatkan dosa orang yang mencontohnya. Rasulullah bersabda : “…dan barang siapa memberi contoh keburukan dalam Islam maka baginya dosa perbuatan itu dan juga dosa orang yang mencontohnya setelah itu tanpa dikurangi sedikitpun dosa itu dari pelakunya.” (Muslim).
Jangan Menunda-Nunda Taubat
Bersegera bertaubat hanya dilakukan oleh mereka yang berakal sehat. Orang-orang yang menunda taubat ibarat seseorang yang ingin mencabut pohon yang mengganggu, namun karena merasa sulit mencabutnya ia menundanya hingga esok atau lusa, atau minggu depan, atau … tanpa ia sadari bahwa semakin hari akar pohon itu makin menghunjam di tanah, sedangkan ia semakin tua dan lemah.
Jangan menunda-nunda taubat karena mengandalkan rahmat dan ampunan Allah swt. Orang seperti itu ibarat seorang laki-laki yang menghabiskan seluruh hartanya dengan sia-sia dan meninggalkan keluarganya dalam kefakiran, lalu ia mengharapkan harta karun datang kepadanya tanpa bekerja. Mungkin harta karun itu ada, tapi orang ini jelas kurang sehat akalnya.
Mengapa kita dapat berpikir logis dalam masalah keduniaan namun tidak demikian dalam urusan akhirat? Allahu a’lam
Mengapa kita harus bertaubat?
Pertama, karena manusia pasti berdosa.
Karena dosa adalah penghalang antara kita dan Sang Kekasih (Allah swt), maka lari dari hal yang membuat kita jauh dari-Nya adalah kemestian.
Dosa pasti membawa kehancuran cepat atau lambat, maka mereka yang berakal sehat pasti segera menjauh darinya.
Jika ada manusia yang tidak melakukan dosa, pasti ia pernah berkeinginan untuk melakukannya. Jika ada orang yang tidak pernah berkeinginan melakukan dosa, pasti ia pernah lalai dari mengingat Allah. Jika ada orang yang tidak pernah lalai mengingat Allah, pastilah ia tidak akan mampu memberikan hak Allah sepenuhnya. Semua itu adalah kekurangan yang harus ditutupi dengan taubat.
Kedua, karena Allah swt memerintahkan kita bertaubat,
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan nabi dan orang-orang mukmin yang bersama Dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah Kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” At Tahrim:8
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” An Nuur:31
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang Telah ditentukan dan dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.” Hud:3
Ketiga, karena Allah mencintai orang yang bertaubat,
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” Al Baqarah:222
Keempat, karena Rasulullah saw senantiasa bertaubat
Padahal beliau seorang nabi yang ma’shum (terjaga dari dosa). Beliau bersabda : “Demi Allah, sesungguhnya aku meminta ampun dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari). Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa beliau beristighfar seratus kali dalam sehari.
Syarat-Syarat Taubat
1. Penyesalan dari dosa karena Allah.
2. Berhenti melakukannya.
3. Bertekad untuk tidak mengulanginya di masa datang.
4. Dilakukan sebelum nyawa sampai di tenggorokan ketika sakaratul maut, atau sebelum matahari terbit dari barat.
5. Jika dosa berkaitan dengan sesama manusia, maka syaratnya bertambah satu: melunasi hak orang tersebut, atau meminta kerelaannya, atau memperbanyak amal kebaikan.
Dosa Kecil Menjadi Besar di Sisi Allah
Pertama, jika dilakukan terus menerus,
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui.” Ali Imran:135
Dosa besar yang hanya dilakukan sekali lebih bisa diharapkan pengampunannya dari pada dosa kecil yang dilakukan terus menerus.
Kedua, jika seorang hamba meremehkannya.
Setiap kali seorang hamba menganggap besar sebuah dosa niscaya akan kecil di sisi Allah, dan setiap kali ia menganggap remeh sebuah dosa niscaya akan menjadi besar di sisi-Nya.
Abdullah bin Mas’ud ra berkata : “Seorang mukmin memandang dosanya bagaikan gunung yang akan runtuh menimpa dirinya, sedangkan seorang pendosa menganggap dosanya seperti seekor lalat yang menclok di hidungnya, cukup diusir dengan tangannya.” (Bukhari-Muslim).
Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata : “Jangan kamu memandang kecilnya dosa, tapi lihatlah kepada siapa kamu berbuat dosa itu”
Ketiga, jika dilakukan dengan bangga atau minta dipuji,
Seperti seseorang yang mengatakan : “Lihat, bagaimana hebatnya saya mempermalukan orang itu di depan umum!?” Atau seperti ucapan seorang pedagang : “Lihat, bagaimana saya bisa menipu pembeli itu!?”
Keempat, jika seseorang melakukan dosa tanpa diketahui orang lain lalu ia menceritakannya dengan bangga kepada orang lain.
Rasulullah saw bersabda : “Setiap ummatku selamat kecuali orang-orang yang terang-terangan berlaku dosa. Dan diantara perbuatan terang-terangan melakukan dosa ialah jika seseorang berdosa di malam hari sementara Allah telah menutupi aibnya, namun di pagi hari ia merobek tirai penutup itu sambil berkata : “Hai Fulan, semalam aku melakukan ini dan itu.” (Bukhari-Muslim).
Kelima, jika yang melakukannya seorang alim yang menjadi panutan.
Karena apa yang ia lakukan dicontoh oleh orang lain. Ketika ia melakukan dosa, maka ia juga mendapatkan dosa orang yang mencontohnya. Rasulullah bersabda : “…dan barang siapa memberi contoh keburukan dalam Islam maka baginya dosa perbuatan itu dan juga dosa orang yang mencontohnya setelah itu tanpa dikurangi sedikitpun dosa itu dari pelakunya.” (Muslim).
Jangan Menunda-Nunda Taubat
Bersegera bertaubat hanya dilakukan oleh mereka yang berakal sehat. Orang-orang yang menunda taubat ibarat seseorang yang ingin mencabut pohon yang mengganggu, namun karena merasa sulit mencabutnya ia menundanya hingga esok atau lusa, atau minggu depan, atau … tanpa ia sadari bahwa semakin hari akar pohon itu makin menghunjam di tanah, sedangkan ia semakin tua dan lemah.
Jangan menunda-nunda taubat karena mengandalkan rahmat dan ampunan Allah swt. Orang seperti itu ibarat seorang laki-laki yang menghabiskan seluruh hartanya dengan sia-sia dan meninggalkan keluarganya dalam kefakiran, lalu ia mengharapkan harta karun datang kepadanya tanpa bekerja. Mungkin harta karun itu ada, tapi orang ini jelas kurang sehat akalnya.
Mengapa kita dapat berpikir logis dalam masalah keduniaan namun tidak demikian dalam urusan akhirat? Allahu a’lam
Sumber: http://pribadimanfaat.blogspot.com