BERITA TERKINI, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA
(Ketua Yayasan Dinamika Umat dan Dosen Unida Bogor)
Seorang Sufi termashur dengan konsep Mahabbah (cinta Ilahi), Rabi’ah al-‘Adawiyah (713-801 M) pernah bermunajat dalam keheningan malam : “ Ya Allah, jika aku mengabdi kepadaMu karena takut neraka, maka campakkanlah aku ke dalamnya. Jika aku mengabdi kepadaMu karena mengharapkan surga, maka jauhkan aku darinya. Tetapi, jika aku mengabdi kepadaMu semata-mata karena mencintaiMu, maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu dariku “.
Bulan Ramadhan adalah momentum terbaik untuk meraih kenikmatan ibadah kepada Allah SWT, baik ibadah ritual (mahdhah), seperti shalat, puasa, zakat, baca al-Qur’an, zikir, i’tikaf dan lain-lain, maupun ibadah sosial (mu’amalah), seperti sedekah, menyediakan hidangan berbuka, berbagi dan membiayai pendidikan yatim dhuafa, membangun sekolah, masjid dan lain-lain.
Namun harus diakui, betapa sulitnya merasakan nikmatinya beribadah dan beramal saleh. Ibadah yang didasari cinta dan rindu kepada Allah, sehingga hati senang dan nikmat menjalankannya.
(Ketua Yayasan Dinamika Umat dan Dosen Unida Bogor)
Seorang Sufi termashur dengan konsep Mahabbah (cinta Ilahi), Rabi’ah al-‘Adawiyah (713-801 M) pernah bermunajat dalam keheningan malam : “ Ya Allah, jika aku mengabdi kepadaMu karena takut neraka, maka campakkanlah aku ke dalamnya. Jika aku mengabdi kepadaMu karena mengharapkan surga, maka jauhkan aku darinya. Tetapi, jika aku mengabdi kepadaMu semata-mata karena mencintaiMu, maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu dariku “.
Bulan Ramadhan adalah momentum terbaik untuk meraih kenikmatan ibadah kepada Allah SWT, baik ibadah ritual (mahdhah), seperti shalat, puasa, zakat, baca al-Qur’an, zikir, i’tikaf dan lain-lain, maupun ibadah sosial (mu’amalah), seperti sedekah, menyediakan hidangan berbuka, berbagi dan membiayai pendidikan yatim dhuafa, membangun sekolah, masjid dan lain-lain.
Namun harus diakui, betapa sulitnya merasakan nikmatinya beribadah dan beramal saleh. Ibadah yang didasari cinta dan rindu kepada Allah, sehingga hati senang dan nikmat menjalankannya.
Untuk meraih kenikmatan ibadah itu, kita harus menempuh tangga pendakian spritual yang saya formulasikan dalam rumus tiga TER.
Pertama, TER-Paksa. Ketika memilih jalan hidup Islam dengan ber-syahadat, maka kita telah menjadi mukallaf (orang yang dibebani tanggung jawab syariat) yakni menjalankan segala perintah (wajib dan sunnah) dan menjauhi larangan (haram dan makruh).
Menjalankan syariat itu berat, tapi harus dilakukan. Berat mendirikan shalat (2:43), puasa (:183), bayar zakat (2:110), haji (22:27), berbakti kepada orang tua (17:23), berinfak kepada kaum kerabat dan yatim dhuafa (2:215) dengan harta yang disenangi (4:92,29:8-9) dan seterusnya.
Tapi karena kewajiban harus dilakukan meski Ter-paksa. Jangan menunggu ikhlas dulu baru dikerjakan. Jika belum ikhlas lakukan lagi, jangan berhenti hingga ia tumbuh dalam hati. Orang yang melakukan sesuatu karena Ter-paksa akan tampak pada raut wajah, fisik dan sikapnya.
Beribadah dan bekerja dalam keadaan Ter-paksa, akan terlihat ekspresi wajah yang tegang dan risau. Misalnya, karena takut lapar dan haus di siang hari, lalu makan dan minum berlebihan di waktu sahur.
Menunggu berbuka puasa dengan ngabuburit agar lapar dan dahaga tidak terasa. Waktu maghrib terasa lama dan jam tangan pun selalu dilirik.
Pertama, TER-Paksa. Ketika memilih jalan hidup Islam dengan ber-syahadat, maka kita telah menjadi mukallaf (orang yang dibebani tanggung jawab syariat) yakni menjalankan segala perintah (wajib dan sunnah) dan menjauhi larangan (haram dan makruh).
Menjalankan syariat itu berat, tapi harus dilakukan. Berat mendirikan shalat (2:43), puasa (:183), bayar zakat (2:110), haji (22:27), berbakti kepada orang tua (17:23), berinfak kepada kaum kerabat dan yatim dhuafa (2:215) dengan harta yang disenangi (4:92,29:8-9) dan seterusnya.
Tapi karena kewajiban harus dilakukan meski Ter-paksa. Jangan menunggu ikhlas dulu baru dikerjakan. Jika belum ikhlas lakukan lagi, jangan berhenti hingga ia tumbuh dalam hati. Orang yang melakukan sesuatu karena Ter-paksa akan tampak pada raut wajah, fisik dan sikapnya.
Beribadah dan bekerja dalam keadaan Ter-paksa, akan terlihat ekspresi wajah yang tegang dan risau. Misalnya, karena takut lapar dan haus di siang hari, lalu makan dan minum berlebihan di waktu sahur.
Menunggu berbuka puasa dengan ngabuburit agar lapar dan dahaga tidak terasa. Waktu maghrib terasa lama dan jam tangan pun selalu dilirik.
Begitu adzan berkumandang, hidangan ta’jil langsung dilibas tanpa kompromi. Ketika Ramadhan akan berakhir, senangnya bukan main, seakan lepas dari beban yang menyiksa.
Ibadah yang dilakukan dengan Ter-paksa, tidak akan membekas dan bermakna dalam hidup keseharian, kecuali sekadar gugur kewajiban dan simbolik semata. Hambar, seperti sayur tak bergaram dan lalap tak bersambal.
Kedua, TER-Biasa. Meskipun menjalankan syariat itu berat, tapi terus lakukan dan jangan pernah berhenti dalam kondisi Ter-paksa. Seiring waktu akan naik pada tangga spritual berikutnya, yakni Ter-biasa.
Jika di tangga Ter-paksa beban terasa sangat berat, terburu-buru dan asal jadi, maka ketika Ter-biasa akan lebih ringan dan menerima apa adanya. Berat sekali bangun di tengah malam untuk shalat tahajjud dan sahur misalnya, tapi karena dipaksakan jadi Ter-biasa.
Begitu juga mengeluarkan sedekah (infak), awalnya Ter-paksa apalagi dalam jumlah besar, tidak apa-apa. Namun, jika terus dilakukan akan Ter-biasa. Begitu pun bangun shubuh dan berangkat ke Masjid, kalau dipaksakan akan Ter-biasa. Jika sudah Ter-biasa, maka akan lebih ringan dan mudah dikakukan, karena sudah menjadi kebiasaan (mudawamah).
Nabi SAW. pernah ditanya, tentang amal yang paling disukai Allah SWT. Lalu Beliau menjawab : “adwaamuha wa inqolla” (terus menerus meski sedikit), (HR. Muslim). Oleh karena itu, jangan sampai membiasakan diri dengan perbuatan buruk.
Awalnya terpaksa atau dipaksa, tapi kalau berulang-ulang akan Ter-biasa. Perbuatan baik dan buruk yang sudah terbiasa, akan menjadi karakter atau akhlak. Namun, ekspresi wajah, kata dan sikap orang yang Ter-biasa itu masih apa adanya, memelas, pasrah dan penuh pertimbangan.
Ketiga, TER-Rasa. Bagian ini mulai sulit dijelaskan secara nalar (logika) karena sering kali tidak bisa dicerna oleh akal manusia, tapi mudah dipahami dengan rasa (hati), apalagi bagi orang yang sudah merasakan.
Ter-Rasa (Terasa) berarti merasakan kenikmatan dan kesenangan dalam menjalankan ibadah atau amal perbuatan. Melakukan amal karena cinta kepada Sang Maha Pencinta (ikhlas).
Mereka mencintai Allah dan Allah pun mencintai mereka (QS.5:54). Mereka ridha dan Allah pun ridha kepada mereka (QS.98:7-8). Merasakan kenikmatan dalam amal kebajikan, sehingga senang melakukannya, ingin berlama-lama, tidak peduli cuaca, jarak, biaya.
Rela berkorban agar bisa menikmati kenikmatan ibadah dan larut dalam pelukan cinta Ilahi. Orang yang menunaikan haji misalnya, larut dalam kenikmatan spiritual di tengah panas terik, berdesakan bahkan rela berkorban nyawa.
Ibadah yang dilakukan dengan Ter-paksa, tidak akan membekas dan bermakna dalam hidup keseharian, kecuali sekadar gugur kewajiban dan simbolik semata. Hambar, seperti sayur tak bergaram dan lalap tak bersambal.
Kedua, TER-Biasa. Meskipun menjalankan syariat itu berat, tapi terus lakukan dan jangan pernah berhenti dalam kondisi Ter-paksa. Seiring waktu akan naik pada tangga spritual berikutnya, yakni Ter-biasa.
Jika di tangga Ter-paksa beban terasa sangat berat, terburu-buru dan asal jadi, maka ketika Ter-biasa akan lebih ringan dan menerima apa adanya. Berat sekali bangun di tengah malam untuk shalat tahajjud dan sahur misalnya, tapi karena dipaksakan jadi Ter-biasa.
Begitu juga mengeluarkan sedekah (infak), awalnya Ter-paksa apalagi dalam jumlah besar, tidak apa-apa. Namun, jika terus dilakukan akan Ter-biasa. Begitu pun bangun shubuh dan berangkat ke Masjid, kalau dipaksakan akan Ter-biasa. Jika sudah Ter-biasa, maka akan lebih ringan dan mudah dikakukan, karena sudah menjadi kebiasaan (mudawamah).
Nabi SAW. pernah ditanya, tentang amal yang paling disukai Allah SWT. Lalu Beliau menjawab : “adwaamuha wa inqolla” (terus menerus meski sedikit), (HR. Muslim). Oleh karena itu, jangan sampai membiasakan diri dengan perbuatan buruk.
Awalnya terpaksa atau dipaksa, tapi kalau berulang-ulang akan Ter-biasa. Perbuatan baik dan buruk yang sudah terbiasa, akan menjadi karakter atau akhlak. Namun, ekspresi wajah, kata dan sikap orang yang Ter-biasa itu masih apa adanya, memelas, pasrah dan penuh pertimbangan.
Ketiga, TER-Rasa. Bagian ini mulai sulit dijelaskan secara nalar (logika) karena sering kali tidak bisa dicerna oleh akal manusia, tapi mudah dipahami dengan rasa (hati), apalagi bagi orang yang sudah merasakan.
Ter-Rasa (Terasa) berarti merasakan kenikmatan dan kesenangan dalam menjalankan ibadah atau amal perbuatan. Melakukan amal karena cinta kepada Sang Maha Pencinta (ikhlas).
Mereka mencintai Allah dan Allah pun mencintai mereka (QS.5:54). Mereka ridha dan Allah pun ridha kepada mereka (QS.98:7-8). Merasakan kenikmatan dalam amal kebajikan, sehingga senang melakukannya, ingin berlama-lama, tidak peduli cuaca, jarak, biaya.
Rela berkorban agar bisa menikmati kenikmatan ibadah dan larut dalam pelukan cinta Ilahi. Orang yang menunaikan haji misalnya, larut dalam kenikmatan spiritual di tengah panas terik, berdesakan bahkan rela berkorban nyawa.
Terkadang derai air mata pun berurai karena bahagia tiada terkira.
Eskpresi wajah, kata dan sikap orang yang melakukan sesuatu dengan
Terasa sangat berbeda dengan dua sebelumnya. Mereka tampak ceria,
tersenyum, berbunga-bunga dan bahagia. Nikmat !
Sumber: Republika Online