BERITA TERKINI, Pengamat masalah
Kebangsaan, Yudi Latif, menganggap Partai Golkar masih memiliki potensi
besar untuk pindah ke koalisi partai pendukung pasangan Joko Widodo (Jokowi) - Jusuf Kalla (JK).
Kepada
wartawan usai mengisi diskusi "Meneropong Indonesia Paska Pilpres 9
Juli 2014" yang akan digelar di Caffee Chicis, Setiabudi, Jakarta
Selatan, Kamis (10/7/2014), Yudi mengatakan Partai Golkar pernah
melakukan hal serupa usai Jusuf Kalla (JK), memenangkan posisi Wakil
Presiden pada 2004 lalu.
Pada pemilihan presiden (pilpres) 2004
lalu pasangan JK - Susilo Bambang Yudoyono (SBY), memenangkan pemilihan,
dan pasangan itu bukan lah pasangan yang didukung Partai Golkar.
Namun
JK yang menjabat sebagai Wakil Presiden saat itu sanggup merebut posisi
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar setelah pilpres, dan
setelahnya Partai Golkar pun mendukung pemerintahan.
Pada tahun ini kasus serupa bisa terjadi. JK yang sudah tidak menjabat ketua umum, kembali maju dan kali ini mendampingi Joko Widodo
(Jokowi). Sedangkan Partai Golkar mendukung pasangan Prabowo Subianto -
Hatta Rajasa. Yudi menduga jika pasangan Jokowi - JK menang, maka kasus
tahun 2004 lalu bisa terulang.
"Kalau kita lihat track recod
(red: rekam jejak) Golkar, kan bukan sekali ini saja Golkar cenderung
tidak ingin berdiri di luar kekuasaan, Golkar itu partai yang sangat
pragmatis, dia biasanya akan mengikuti arus modal dan arus kuasa,"
katanya.
Jika Jokowi - JK menang, maka Ketua Umum DPP Partai
Golkar saat ini, Aburizal Bakrie (ARB) sudah pasti tidak mempunyai andil
dalam kekuasaan di negri ini, dan kader Partai Golkar pasti akan
mengalihkan dukungannya.
Dalam kesempatan itu ia juga menyinggung
kebutuhan pasangan Jokowi - JK untuk membentuk pemerintahan yang kuat,
dengan dukungan dari parlemen. Partai Golkar yang merupakan partai
terbesar kedua pada Pemilihan Legislatif (Pileg) lalu jika bergabung
dapat membantu Jokowi - JK, sangat mungkin membantu untuk membentuk
pemerintahan yang kuat.
Sebelumnya ARB sempat menemui ketua umum
DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Sukarnoputri
untuk mencari kemungkinan kerjasama. Namun saat itu Mega tidak terlalu
menanggapi ARB.
Jika kali ini Megawati sebagai ketua umum partai
utama pengusung pasangan Jokowi - JK itu menerima Partai Golkar dengan
tangan terbuka, maka hal itu tidak bisa disebut pasangan Jokowi - JK
telah melakukan politik transaksional.
Kata Yudi jika Partai
Golkar bergabung setelah pilpres, sudah pasti partai berlambang pohon
beringin itu tidak bisa meminta imbalan dari koalisi pendukung Jokowi -
JK.
"Bedanya sekarang kan (menerima Partai Golkar) setelah
pilpres. Kalau memang mau (melakukan politik transaksional), kenapa
tidak dari dulu saja," tandasnya. (src:tribunnews.com)