BERITA TERKINI, Oleh Munawar Saman Makyanie/Wartawan Antara
Pemberlakuan undang-undang negara dalam keadaan darurat dan penetapan jam malam atau larangan keluar rumah di waktu malam dari pukul 19.00-6.00 selama sebulan sejak Rabu (14/8), memungkinkan tentara memiliki wewenang menangkap siapa saja yang dicurigai "melanggar hukum".
Tapi sebagian kalangan tentara yang hanya dicekoki ilmu perang di medan pertempuran, ternyata buta tentang mana orang yang melanggar hukum dan mana yang tidak.
Kecerobohan tentara Mesir itu terlihat ketika menahan ANTARA selama sekitar tiga jam saat meliput pegelaran tank tempur di Jalan Salah Salim, jalan utama yang menghubungkan Bandara Internasional dan pusat kota Kairo, pada Jumat (16/8) silam.
ANTARA ketika itu hendak shalat Jumat di Masjid Al Azhar di Distrik Hussein dan sedianya berencana akan meliput aksi unjuk rasa pendukung presiden terguling Mohamed Moursi di Bundaran Ramses, pusat kota Kairo.
Ketika melintas di Jalan Salah Salim, ada peristiwa menarik untuk diliput, dan ANTARA pun mengambil gambar barisan tank tempur tersebut setelah minta izin kepada seorang tentara di sekitanya, dan dipersilahkan.
Baru beberapa kali menjepret, seorang tentara yang agak senior berteriak dari jauh, "mamnu' tashwir" (dilarang motret) sambil berlari ke arah ANTARA.
Dia sempat membentak tentara yang mengizinkan ANTARA untuk memotret, dan tanpa bertanya, dia langsung dengan paksa menarik tangan ANTARA dan dimasukkan ke mobil patroli.
Padahal ANTARA sudah berteriak-teriak, "Saya wartawan, saya wartawan", tapi tentara berseragam loreng padang pasir itu tidak peduli teriakan tersebut, dan tetap saja menarik tangan ANTARA dengan kasarnya.
Di dalam mobil patroli militer, sudah ada empat warga asing berkulit putih, sepasang laki-wanita berkulit hitam, dan seorang pria berwajah Arab, terkena razia tentara.
ANTARA sempat bertanya kepada para warga asing itu, apakah mereka juga wartawan, namun seorang wanita bule yang duduk di samping ANTARA menjawab bahwa dia dan tiga temannya adalah turis, ditahan atas tuduhan melanggar jam malam.
Ketika ANTARA bertanya lebih lanjut, mereka dari negara mana saja, seorang tentara pengawal tiba-tiba membentak, "uskut!" (diam), dan semua mata para warga asing itu memandang ke ANTARA.
Dengan spontan ANTARA berteriak balik ke arah sang pengawal, "Saya wartawan Indonesia. Ini kartu pers saya," sambil memperlihatkan dua kartu pers yang bergantung di leher.
Dua kartu pers tersebut, masing-masing adalah dari Press Center Kementerian Penerangan Mesir, dan satunya lagi kartu pers dari Istana Presiden Mesir.
Menanggapi teriakan ANTARA, si tentara pengawal yang duduk di kursi mobil paling belakang dengan berpegang senjata siap tembak itu tidak mau tau, dan tanpa bicara dia hanya memelototkan matanya ke arah ANTARA.
Sesaat kemudian, ANTARA mengambil telepon genggam dari saku rompi untuk menghubungi Bapak Atase Pertahanan (Athan) KBRI Kairo.
Celakanya, di daftar telepon genggam, ada dua nama Athan, Kolonel R. Teguh Isgunanto, dan Kolonel Ipung Purwadi.
Untuk konfirmasi yang mana Athan aktif, ANTARA segera menelepon Staf Athan, Mukhlis Kaspul Anwar, dijawabnya bahwa Pak Ipung adalah Athan baru, pengganti Athan Teguh yang sudah kembali ke Indonesia.
"Saya wartawan ANTARA, Munawar Makyanie, ditahan tentara di Jalan Salah Salim," kata ANTARA kepada Pak Athan Ipung.
Dari seberang, terdengar sayup-sayup sampai suara Pak Ipung bertanya-tanya, "Ini siapa, ini siapa?". Sebelum ANTARA menjawab pertanyaan Pak Ipung, HP sudah dirampas, begitu pula kamera.
"Waduh, celaka duabelas ini, fisik dan nyawa saya bisa hilang tanpa jejak," begitu terlintas di fikiran ANTARA.
Suasana semakin menyeramkan karena menjelang mobil patroli tentara yang mengangkut kami warga asing itu hendak bergerak ke arah entah kemana, mata dan wajah kami ditutup dengan kain hitam.
Sekitar satu jam perjalanan, kami diturunkan di suatu tempat, dan secara terpisah di ruang berbeda, kami diinterogasi oleh petugas.
KBRI Bergerak cepat
Ketika petugas secara paksa merampas HP saat menghubungi Athan Ipung, ANTARA sempat mencoba melawan dan berteriak-teriak panik ke arah petugas, "Ini saya sedang berbicara dengan Duta Besar Republik Indonesia".
Namun, lagi-lagi tentara pongah itu tak mau tau, "Mafisy kalam, uskut!" (Tidak boleh ngomong, diam), bentaknya dengan mata melotot lebih seram, dan kumis tebalnya terlihat bergelombang bagai dihantam tsunami.
Fikiran ini kacau balau dan panik karena saat berbicara telepon dengan Pak Athan Ipung tadi, kayaknya nomor HP ANTARA belum tercatat di HP Pak Athan, sehingga beliau bingung juga, siapa itu Munawar Makyanie.
Untungnya, Pak Ipung bergerak cepat untuk melacak nomor telpon tersebut melalui berbagai pihak.
Belakangan, Staf Athan, Iman Hilmanuddin, kepada ANTARA menceritakan bahwa setelah Pak Ipung mendapat telpon dari ANTARA, beliau mula-mula melacaknya melalui dirinya (Iman Hilamanuddin).
Iman Hilmanuddin juga sempat bingung tentang siapa milik HP tersebut, dan selanjutnya berusaha melacak lagi melalui Staf Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial Budaya KBRI Kairo, Amir Syarifuddin, dan diketahui bahwa itu adalah nomor HP wartawan ANTARA di Kairo.
Setelah mengetahui bahwa itu nomor HP ANTARA, Iman pun sengaja mengirim pesan singkat berbahasa Arab ke HP ANTARA atas nama Atase Partahanan, dengan harapan petugas dapat membaca dan memakluminya.
Pesan singkat berbahasa Arab itu isinya, "Apakah ini Munawar Makyanie, apa kabarnya? Saya adalah Atase Pertahanan KBRI Kairo."
Bung Karno "hadir"
Sebelum diinterogasi, seorang petugas beruban -- tampaknya pejabat senior -- meminta identitas diri, dan ANTARA pun menyerahkan semua dokumen identitas berupa paspor, kartu pers, STNK, SIM Mesir, dan kartu Cairo Sporting Club.
Saat membuka paspor ANTARA, petugas tersebut spontan berucap, "Oh dari Indonesia ya, Soekarno, 'anaa uhibbu Soekarno' (saya cinta Soekarno)," sambil senyum takzim dan menunjukkan kedua jempol tangannya, dan dia pun keluar dari ruangan interogasi.
Seorang pria berpakaian sipil berwajah angker mulai menginterogasi ANTARA dengan beragam pertanyaan memojokkan.
Di ruangan itu cukup sempit, hanya ada dua kursi berhadapan ditengahi sebuah meja kecil, dan sebuah lemari kusam di dekat jendela terbuka berpagar besi.
Di atas lemari dipenuhi sebundel kertas berdebu. Sesekali tampak dua ekor tikus menari-nari berkejaran di sela-sela tumpukan kertas di atas lemari.
Di ruang sebelah, kerap terdengar suara bentakan keras oleh petugas berbahasa Arab.
Di tengah interogasi, tiba-tiba datang seorang petugas berbeda lagi, berpakaian rapi dengan senyum ramah, meminta ANTARA untuk ke ruang tamu.
"Mohon maaf, ini hanya salah pengertian saja. Bapak Munawar Saman Makyanie boleh kembali ke rumah", kata pria berdasi itu sambil menyerahkan kembali telpon genggam, dan semua dokumen identitas, serta kamera, tapi memory card kamera sudah dicopot.
ANTARA pun diantar kembali ke tempat semula ditahan, yaitu Jalan Salah Salim, dalam posisi mata dan wajah kembali ditutup dengan kain hitam.
Selama perjalanan pulang dalam mobil patroli tersebut, ada dua hal terlintas di fikiran ini, yaitu anak-istri dan Toyota Corolla -- mobil sedan pribadi kesayangan yang saya parkir di sisi Jalan Salah Salim, dengan kuci stang buatan Indonesia.
Maklum saja, banyak kerangka mobil rusak terbakar berserakan di pinggir jalan di mana-mana akibat bentrokan.
Sesampai di Jalan Salah Salim, petugas membuka penutup kain hitam dari wajah dan turun dari mobil patroli dengan lega bercampur kacau fikiran.
Alhamduillah mobil pribadi warna metalik itu masih utuh, menanti dengan anggunnya.
Begitu masuk dalam mobil pribadi, istri tercinta menelpon dari Indonesia, "Papa, hati mama tidak tenang di rumah sakit, selalu ingat papa di depan pasien," kata istri, Widiawati Kurnia, yang sedang bertugas sebagai dokter spesialis kandungan di Rumah Sakit Sari Asih Sangeang, Tangerang.
Mendengar suara istri di telpon bergitu, jantung ini terasa bergetar kencang, air mata mengucur di pipi, suara tidak bisa keluar dari mulut, dan langsung saya matikan telepon.
Sesaat kemudian setelah panasin mobil sebentar, saya kirim pesan singkat bbm kepada istri, tanpa kata-kata, hanya berupa gambar setir mobil, pertanda sedang berkendara di jalan.
Antara pun sampai di rumah dengan selamat berkat "kehadiran" Bung Karno.
Proklamator Kemerdekaan RI itu memang cukup disegani rakyat Mesir hingga sekarang yang dikenal sebagai sejawat paling akrab Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, pahlawan legendaris Arab.
Pemberlakuan undang-undang negara dalam keadaan darurat dan penetapan jam malam atau larangan keluar rumah di waktu malam dari pukul 19.00-6.00 selama sebulan sejak Rabu (14/8), memungkinkan tentara memiliki wewenang menangkap siapa saja yang dicurigai "melanggar hukum".
Tapi sebagian kalangan tentara yang hanya dicekoki ilmu perang di medan pertempuran, ternyata buta tentang mana orang yang melanggar hukum dan mana yang tidak.
Kecerobohan tentara Mesir itu terlihat ketika menahan ANTARA selama sekitar tiga jam saat meliput pegelaran tank tempur di Jalan Salah Salim, jalan utama yang menghubungkan Bandara Internasional dan pusat kota Kairo, pada Jumat (16/8) silam.
ANTARA ketika itu hendak shalat Jumat di Masjid Al Azhar di Distrik Hussein dan sedianya berencana akan meliput aksi unjuk rasa pendukung presiden terguling Mohamed Moursi di Bundaran Ramses, pusat kota Kairo.
Ketika melintas di Jalan Salah Salim, ada peristiwa menarik untuk diliput, dan ANTARA pun mengambil gambar barisan tank tempur tersebut setelah minta izin kepada seorang tentara di sekitanya, dan dipersilahkan.
Baru beberapa kali menjepret, seorang tentara yang agak senior berteriak dari jauh, "mamnu' tashwir" (dilarang motret) sambil berlari ke arah ANTARA.
Dia sempat membentak tentara yang mengizinkan ANTARA untuk memotret, dan tanpa bertanya, dia langsung dengan paksa menarik tangan ANTARA dan dimasukkan ke mobil patroli.
Padahal ANTARA sudah berteriak-teriak, "Saya wartawan, saya wartawan", tapi tentara berseragam loreng padang pasir itu tidak peduli teriakan tersebut, dan tetap saja menarik tangan ANTARA dengan kasarnya.
Di dalam mobil patroli militer, sudah ada empat warga asing berkulit putih, sepasang laki-wanita berkulit hitam, dan seorang pria berwajah Arab, terkena razia tentara.
ANTARA sempat bertanya kepada para warga asing itu, apakah mereka juga wartawan, namun seorang wanita bule yang duduk di samping ANTARA menjawab bahwa dia dan tiga temannya adalah turis, ditahan atas tuduhan melanggar jam malam.
Ketika ANTARA bertanya lebih lanjut, mereka dari negara mana saja, seorang tentara pengawal tiba-tiba membentak, "uskut!" (diam), dan semua mata para warga asing itu memandang ke ANTARA.
Dengan spontan ANTARA berteriak balik ke arah sang pengawal, "Saya wartawan Indonesia. Ini kartu pers saya," sambil memperlihatkan dua kartu pers yang bergantung di leher.
Dua kartu pers tersebut, masing-masing adalah dari Press Center Kementerian Penerangan Mesir, dan satunya lagi kartu pers dari Istana Presiden Mesir.
Menanggapi teriakan ANTARA, si tentara pengawal yang duduk di kursi mobil paling belakang dengan berpegang senjata siap tembak itu tidak mau tau, dan tanpa bicara dia hanya memelototkan matanya ke arah ANTARA.
Sesaat kemudian, ANTARA mengambil telepon genggam dari saku rompi untuk menghubungi Bapak Atase Pertahanan (Athan) KBRI Kairo.
Celakanya, di daftar telepon genggam, ada dua nama Athan, Kolonel R. Teguh Isgunanto, dan Kolonel Ipung Purwadi.
Untuk konfirmasi yang mana Athan aktif, ANTARA segera menelepon Staf Athan, Mukhlis Kaspul Anwar, dijawabnya bahwa Pak Ipung adalah Athan baru, pengganti Athan Teguh yang sudah kembali ke Indonesia.
"Saya wartawan ANTARA, Munawar Makyanie, ditahan tentara di Jalan Salah Salim," kata ANTARA kepada Pak Athan Ipung.
Dari seberang, terdengar sayup-sayup sampai suara Pak Ipung bertanya-tanya, "Ini siapa, ini siapa?". Sebelum ANTARA menjawab pertanyaan Pak Ipung, HP sudah dirampas, begitu pula kamera.
"Waduh, celaka duabelas ini, fisik dan nyawa saya bisa hilang tanpa jejak," begitu terlintas di fikiran ANTARA.
Suasana semakin menyeramkan karena menjelang mobil patroli tentara yang mengangkut kami warga asing itu hendak bergerak ke arah entah kemana, mata dan wajah kami ditutup dengan kain hitam.
Sekitar satu jam perjalanan, kami diturunkan di suatu tempat, dan secara terpisah di ruang berbeda, kami diinterogasi oleh petugas.
KBRI Bergerak cepat
Ketika petugas secara paksa merampas HP saat menghubungi Athan Ipung, ANTARA sempat mencoba melawan dan berteriak-teriak panik ke arah petugas, "Ini saya sedang berbicara dengan Duta Besar Republik Indonesia".
Namun, lagi-lagi tentara pongah itu tak mau tau, "Mafisy kalam, uskut!" (Tidak boleh ngomong, diam), bentaknya dengan mata melotot lebih seram, dan kumis tebalnya terlihat bergelombang bagai dihantam tsunami.
Fikiran ini kacau balau dan panik karena saat berbicara telepon dengan Pak Athan Ipung tadi, kayaknya nomor HP ANTARA belum tercatat di HP Pak Athan, sehingga beliau bingung juga, siapa itu Munawar Makyanie.
Untungnya, Pak Ipung bergerak cepat untuk melacak nomor telpon tersebut melalui berbagai pihak.
Belakangan, Staf Athan, Iman Hilmanuddin, kepada ANTARA menceritakan bahwa setelah Pak Ipung mendapat telpon dari ANTARA, beliau mula-mula melacaknya melalui dirinya (Iman Hilamanuddin).
Iman Hilmanuddin juga sempat bingung tentang siapa milik HP tersebut, dan selanjutnya berusaha melacak lagi melalui Staf Pelaksana Fungsi Penerangan, Sosial Budaya KBRI Kairo, Amir Syarifuddin, dan diketahui bahwa itu adalah nomor HP wartawan ANTARA di Kairo.
Setelah mengetahui bahwa itu nomor HP ANTARA, Iman pun sengaja mengirim pesan singkat berbahasa Arab ke HP ANTARA atas nama Atase Partahanan, dengan harapan petugas dapat membaca dan memakluminya.
Pesan singkat berbahasa Arab itu isinya, "Apakah ini Munawar Makyanie, apa kabarnya? Saya adalah Atase Pertahanan KBRI Kairo."
Bung Karno "hadir"
Sebelum diinterogasi, seorang petugas beruban -- tampaknya pejabat senior -- meminta identitas diri, dan ANTARA pun menyerahkan semua dokumen identitas berupa paspor, kartu pers, STNK, SIM Mesir, dan kartu Cairo Sporting Club.
Saat membuka paspor ANTARA, petugas tersebut spontan berucap, "Oh dari Indonesia ya, Soekarno, 'anaa uhibbu Soekarno' (saya cinta Soekarno)," sambil senyum takzim dan menunjukkan kedua jempol tangannya, dan dia pun keluar dari ruangan interogasi.
Seorang pria berpakaian sipil berwajah angker mulai menginterogasi ANTARA dengan beragam pertanyaan memojokkan.
Di ruangan itu cukup sempit, hanya ada dua kursi berhadapan ditengahi sebuah meja kecil, dan sebuah lemari kusam di dekat jendela terbuka berpagar besi.
Di atas lemari dipenuhi sebundel kertas berdebu. Sesekali tampak dua ekor tikus menari-nari berkejaran di sela-sela tumpukan kertas di atas lemari.
Di ruang sebelah, kerap terdengar suara bentakan keras oleh petugas berbahasa Arab.
Di tengah interogasi, tiba-tiba datang seorang petugas berbeda lagi, berpakaian rapi dengan senyum ramah, meminta ANTARA untuk ke ruang tamu.
"Mohon maaf, ini hanya salah pengertian saja. Bapak Munawar Saman Makyanie boleh kembali ke rumah", kata pria berdasi itu sambil menyerahkan kembali telpon genggam, dan semua dokumen identitas, serta kamera, tapi memory card kamera sudah dicopot.
ANTARA pun diantar kembali ke tempat semula ditahan, yaitu Jalan Salah Salim, dalam posisi mata dan wajah kembali ditutup dengan kain hitam.
Selama perjalanan pulang dalam mobil patroli tersebut, ada dua hal terlintas di fikiran ini, yaitu anak-istri dan Toyota Corolla -- mobil sedan pribadi kesayangan yang saya parkir di sisi Jalan Salah Salim, dengan kuci stang buatan Indonesia.
Maklum saja, banyak kerangka mobil rusak terbakar berserakan di pinggir jalan di mana-mana akibat bentrokan.
Sesampai di Jalan Salah Salim, petugas membuka penutup kain hitam dari wajah dan turun dari mobil patroli dengan lega bercampur kacau fikiran.
Alhamduillah mobil pribadi warna metalik itu masih utuh, menanti dengan anggunnya.
Begitu masuk dalam mobil pribadi, istri tercinta menelpon dari Indonesia, "Papa, hati mama tidak tenang di rumah sakit, selalu ingat papa di depan pasien," kata istri, Widiawati Kurnia, yang sedang bertugas sebagai dokter spesialis kandungan di Rumah Sakit Sari Asih Sangeang, Tangerang.
Mendengar suara istri di telpon bergitu, jantung ini terasa bergetar kencang, air mata mengucur di pipi, suara tidak bisa keluar dari mulut, dan langsung saya matikan telepon.
Sesaat kemudian setelah panasin mobil sebentar, saya kirim pesan singkat bbm kepada istri, tanpa kata-kata, hanya berupa gambar setir mobil, pertanda sedang berkendara di jalan.
Antara pun sampai di rumah dengan selamat berkat "kehadiran" Bung Karno.
Proklamator Kemerdekaan RI itu memang cukup disegani rakyat Mesir hingga sekarang yang dikenal sebagai sejawat paling akrab Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, pahlawan legendaris Arab.
Sumber: Republika Online