Alhamdulillah, kita sudah memasuk Hadits ke-10 dalam Shahih Bukhari Hadits ini masih termasuk dalam Kitab Iman (كتاب الايمان).
Hadits ke-10 Shahih Bukhari yang akan kita kaji ini akan memaparkan karakter muslim secara singkat. Di samping itu, ia juga menjelaskan hakikat muhajir (orang yang berhijrah) dalam maknanya yang luas. Karenanya Bersama Dakwah memberi judul untuk pembahasan hadits ke-10 ini "Hakikat Muslim dan Muhajir (Orang yang Berhijrah)".
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو - رضى الله عنهما - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Dari Abdullah bin Umar r.a. Nabi SAW bersabda, "Muslim adalah orang yang menyelamatkan semua orang muslim dari lisan dan tangannya. Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah"
Penjelasan Hadits
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Matan hadits ini menjelaskan salah satu karakter muslim. Sebagaimana salah satu makna Islam adalah "selamat" yang diambil dari asal kata salima, seorang muslim adalah seorang yang menyelamatkan. Tidak mencelakakan orang lain, terlebih sesama muslim.
Maka itulah karakter muslim yang juga menjadi hakikat muslim sejati. Ia tidak membahayakan muslim yang lain, tidak pula mencelakakan mereka. Ia tidak membuat sesama muslim yang pada hakikatnya adalah saudaranya sendiri menjadi binasa karena lisan dan tangannya. Lisan berarti adalah ucapan dan perkataan. Sedangkan tangan adalah perbuatan, sikap, juga keputusan-keputusannya.
Seorang muslim sejati akan benar-benar menjaga lisan dan tangannya agar tidak sampai menyakiti sesama muslim. Lisannya ia jaga agar jangan sampai mengeluarkan perkataan yang menyakitkan, ucapan yang membuat hati terluka, kebohongan yang mendatangkan keburukan, ghibah yang menjatuhkan harga diri, umpatan yang memicu kemarahan, celaan yang mendatangkan penghinaan, apalagi fitnah yang mencelakakan.
Tangannya juga ia jaga sebaik-baiknya. Agar jangan sampai tangannya memukul sesama muslim, memecah belah persatuan mereka, mendatangkan kerusakan dalam kehidupan mereka, menzhalimi hak-hak mereka, menindas mereka yang lemah, merongrong stabilitas umat, dan sebagainya. Disebutkannya tangan di sini bukan hanya terbatas pada tangan secara fisik yang merugikan orang lain. Lebih strategis dari itu adalah tangan dalam arti kekuasaan sebagaimana dalam hadits lain:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan/kekuasaannya. Jika tidak mampu, hendaklah mengubah dengan lisannya. Jika tidak mampu hendaklah mengubah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman. (HR. Muslim)
Maka jika seorang muslim memiliki kekuasaan, ia harus menjaganya agar jangan sampai kekuasaan itu menyakiti kaum muslimin, menzhalimi, menindas, atau merampas hak mereka.
Matan hadits di atas juga menunjukkan bahwa hakikat Islam bukan hanya baiknya hubungan manusia dengan Rabbnya (hablun minallah), tetapi juga harus baik hubungannya dengan sesama manusia (hablun minannas). Dan salah satu indikasi baiknya hubungan dengan sesama manusia, khususnya sesama muslim, adalah terjaganya kaum muslimin dari gangguan lisan dan tangannya.
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Muhajir adalah orang yang berhijrah. Dalam bentuk jamak, kata muhajir akan berubah menjadi muhajirin, "orang-orang yang berhijrah."
Ketika istilah "hijrah" dan "muhajirin" disebutkan dalam Al-Qur'an, hampir bisa dipastikan maknanya adalah hijrah (berpindahnya) seorang muslim dari negeri kufur ke negeri Islam atau negeri yang aman untuk agamanya. Dalam sirah nabawiyah, dikenal dua hijrah. Yang pertama adalah hijrah ke Habasyah, dan yang kedua adalah hijrah ke Madinah. Hijrah pertama untuk menyelamatkan agama dari tribulasi dakwah yang dilancarkan kaum kafir Quraisy, sementara hijrah ke Madinah lebih besar lagi untuk membangun basis agama Islam sekaligus pendirian negara Islam di Madinah.
Setelah futuhnya Makkah, Rasulullah SAW bersabda tentang dihapuskannya hijrah, khususnya dari Makkah:
لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ
Tidak ada hijrah sesudah fathu Makkah (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, muhajir dalam matan hadits ini adalah muhajir dalam maknanya yang luas. Yakni orang yang berpindah dari kondisi mendurhakai Allah atau peluang bermaksiat kepada Allah menuju ketaatan yang lebih baik. Lebih tepatnya, meninggalkan larangan-larangan Allah SWT.
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa ada dua bentuk hijrah. Pertama, hijrah zhahirah. Yaitu pergi meninggalkan tempat untuk menghindari fitnah demi mempertahankan agama. Kedua, hijrah bathinah. Yaitu meninggalkan perbuatan yang dibisikkan oleh nafsu amarah dan syetan. Seakan-akan orang yang berhijrah diperintahkan seperti itu, agar hijrah yang mereka lakukan tidak hanya berpindah tempat saja, tetapi lebih dari iru, mereka benar-benar melaksanakan perintah syariat dan meninggalkan larangannya. Orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah berarti ia telah melaksanakan hakikat hijrah.
Pelajaran Hadits
Pelajaran yang bisa diambil dari hadits ini diantaranya adalah:
1. Islam bukan hanya mengajarkan dan memerintah memperbaiki hubungan dengan Allah (hablun minallah), tetapi juga hubungan dengan manusia (hablun minannas)
2. Salah satu karakter muslim adalah menjaga lisan dan tangannya agar tidak menyakiti atau mencelakai sesama muslim
3. Dalam hadits, kadang satu istilah dipakai untuk makna yang berbeda, yakni makna secara sempit dan makna secara luas
4. Hakikat hijrah adalah meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT.
Demikian hadits ke-10 Shahih Bukhari dan penjelasannya, semoga bermanfaat untuk menambah pemahaman Islam kita, memotivasi kita untuk memperbaiki kualitas keislaman kita, dan menjadikan kita sebagai muslim dan muhajir sejati. Wallaahu a'lam bish shawab. []