Tiba di Singapura pada 9 Maret 1965 pagi. Djanatin alias
Oesman bin Haji Mochammad Ali, Tohir alias Harun bin Said dan Gani bin
Arup, menyebar. Mereka memetakan lokasi sabotase yang memiliki dampak
psikologis besar bagi masyarakat Singapura.
==================================================================
==================================================================
SEJARAH, OPERASI pemetaan Singapura berlangsung hingga malam hari. Mereka lalu
berkumpul di tempat rahasia untuk memetakan pengamatan lokasi sabotase.
Hotel Mac Donald yang berada di Orchard Road menjadi bidikan. Hotel ini
berada di kota Singapura. Namun, pemetaan lokasi dirasa kurang
memuaskan. Mereka bersepakat untuk kembali ke daerah sasaran untuk
melakukan penelitian secara mendalam.
Bahan peledak seberat 12,5 kilogram telah disiapkan. Oesman dan kedua
anggota lalu menyusuri hotel tersebut pada malam hari. Mereka tidak
langsung menaruh bom di hotel. Situasi hotel yang ramai membuat mereka
menahan diri. Setelah berangsur-angsur sepi, bom lalu diletakkan.
Sekitar pukul 03.07 pagi, bom meledak di Mac Donald. Bom ini membuat
kalang kabut penghuni hotel dan toko. Mereka berhamburan, dan berusaha
melarikan diri.
Peristiwa ini menyebabkan tiga orang tewas dan 33 orang mengalami luka. Catatan Drs. Murgiyanto dalam buku bertajuk Usman
dan Harun Prajurit, yang dicetak Pustaka Bahari menyebut, ledakan bom
menyebabkan 20 toko rusak berat, dan 24 kendaraan sedan hancur.
Pejabat Sementara Menteri Sumber Daya Manusia Singapura Tan Chuan-Jin
mengenang peristiwa itu dalam akun Facebook miliknya, pada Jumat 8
Februari 2014 lalu. Ia menyebut, peristiwa 10 Maret 1965 nyaris
menewaskan sang ayah.
"Saya mengetahui peristiwa itu sejak kecil, karena ayah saya bekerja
di Metal Box dan kantornya berada di MacDonald House. Ayah mengatakan
dirinya tidak pernah mengambil cuti, tetapi pada hari itu dirinya tidak
masuk kantor. Ketika mendengar berita tersebut, ayah terguncang
sekaligus lega karena bom meledak di tempat di mana dirinya biasa
berada," tulis Tan.
Murgiyanto membeberkan, usai bom meledak, Usman dan dua anggotanya berada di tengah- tengah hiruk pikuk warga Singapura yang mencoba meloloskan diri dari dampak ledakan bom. "Usman
dan anggotanya dengan tenang berjalan semakin menjauh ditelan kegelapan
malam untuk menghindar dari kecurigaan," tulis Murgiyanto.
Mereka lalu berkumpul di lokasi persembunyian, dan mengatur cara
untuk kembali ke pangkalan. Penjagaan ketat yang dilakukan pihak
keamanan Singapura membuat mereka mengatur siasat untuk berpencar.
Hasilnya, Gani berpisah jalan dengan Usman dan Harun. Sementara Usman membuntuti Harun dari belakang lantaran tidak mengetahui seluk beluk Singapura.
"Untuk menghindari kecurigaan, mereka berjalan berjauhan," tulis Murgiyanto.
Upaya Usman dan
Harun menuju pelabuhan Singapura pun sukses. Mereka berdua menaiki kapal
dagang Begama yang akan menuju Bangkok. Mereka lalu menyamar sebagai
pelayan dapur.
Namun, penyamaran mereka berantakan pada 12 Maret 1965. Kapten kapal
Begama mengetahui keberadaan mereka. Kapten kapal lalu mengusir Usman dan Harun. Bahkan, bila Usman dan Harun tidak menggubrisnya, kapten kapal melaporkan keduanya ke pihak polisi.
13 Maret 1965 mereka keluar dari kapal dagang Begama. Ketika sedang
mencari kapal lainnya, mereka melihat motorboat tengah dikendarai
seorang Cina. Tanpa pikir panjang, keduanya merebut motorboat itu dan
sejurus kemudian memacunya ke Pulau Sambu. Nahas, motorboat yang mereka
naiki mogok di tengah laut. Hingga akhirnya, patroli Singapura menemukan
mereka pada pukul 09.00. Keduanya lalu dibawa ke Singapura sebagai
tawanan. (Bersambung-) (src:tribunnews.com)