KOMUNITAS, Sabang Merauke. Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali.
Mungkin, jika kalian melihat linimasa saya kalian akan sering sekali
mendapati 2 kata awal tersebut. Iya, Sabang Merauke adalah sebuah
gerakan yang aktif saya ikuti selama 2 minggu terakhir. Jika penasaran,
bisa dibaca selengkapnya disini.
Toleransi, pendidikan, dan keindonesiaan adalah 3 hal yang berusaha
kami tanamkan dalam gerakan ini. Primernya, kami sangat percaya bahwa
toleransi bukanlah hal yang semata-mata harus dipelajari, namun harus dialami dan dirasakan.
Dan dengan itu, ada 10 ASM (Anak Sabang Merauke) hebat yang terpilih
dari ragam suku, budaya, agama, dan tempat tinggal yang didatangkan ke
Jakarta untuk mengikuti gerakan ini. Dan pula ada 10 KSM (Kakak Sabang
Merauke), 10 FSM (Famili Sabang Merauke) dan puluhan volunteer yang
serta merta mendukung gerakan ini.
“Bukan hanya mereka yang belajar, tetapi kami juga belajar banyak dari mereka”,
ucap salah seorang FSM ketika diminta bercerita tentang 2 minggu
terakhir selama satu orang ASM tinggal di rumahnya. Saya rasa, semua
KSM, FSM, co-founder, pendukung, dan bahkan para volunteer sependapat
dengan pernyataan di atas. 10 ASM bukan hanya belajar di Jakarta, tetapi
memberikan pembelajaran berharga bagi orang-orang yang terlibat dalam
gerakan ini. And I’m so lucky I’m including of it part.
Dan satu hal pelajaran dari mereka yang senantiasa bergema di semesta saya adalah tentang: MIMPI.
Saya belajar banyak tentang mimpi. Dari mereka, saya (lagi-lagi)
terinspirasi. Apipa (ASM asal Kalimantan Barat) adalah anak yang
semangat dan hadir dengan kesederhanaannya sebagai anak-anak. Miris
ketika saya mengetahui bahwa di kampungnya tidak ada listrik, bahkan
tidak ada toilet di rumahnya. Ia bilang, di kampungnya ia menggunakan
sungai/kali untuk melakukan aktifitas yang biasanya kita lakukan di
kamar mandi. Dan karena apa ia bisa mengikuti gerakan ini hingga sampai
di Jakarta? Karena Mimpi. Karena ia tidak pernah menyerah mencari cara bagaiman cara untuk meraih mimpinya, termasuk berkunjung ke Jakarta.
Novi (ASM asal Bali) memang tidak
se-konservatif Apipa. Namun ketika ia ditanya “Novi ke Jakarta apa yang
pengen banget Novi liat?” ia bilang “Novi mau liat tempat shootingnya dahsyat/inbox” See?
Mungkin kita dan orang kota lain yang mendengar pernyataan Novi akan
tertawa bukan main karena kita pikir itu terlalu aneh dan berpikir untuk
apa juga melihat tempat shooting acara musik yang kontennya terlalu weird and too bad to watched. Tapi siapa sangka? Terkadang, yang kita anggap biasa belum tentu biasa untuk orang lain. People has their own dream. Dan dengan ini, Novi bisa mewujudkan salah satu mimpinya.
Yang paling mencubit dan memberikan saya
pelajaran adalah ASM saya, Iman (Halmahera). Pelupa saya mengapa baru
menanyakan hal klimaks ini hari-hari terakhir.
“Iman kalo dari rumah ke sekolah berapa jam?”, tanya saya.
“1,5 jam kak”
“Naik apa? Motor? Apa angkutan?”
“Jalan kaki, kak”
“Ah masa sih man?”
“Iya, kak. Terus harus turun gunung dulu, nyebrang sungai ke kampung lain. Pokoknya panjang deh”
“Kok, kaya di tv sih. Hehe. Terus kalau hujan gimana?”, jawab dan tanya saya lagi.
“Ih beneran kak. Kalau hujan ya seragam dan sepatunya dilepas dulu, nanti kalau di sekolah baru dipake lagi”, katanya.
“Saya gak mau putus sekolah kak, mau ngelanjutin sekolah di AkPol biar jadi polisi”, tambahnya lagi.
“Cieeee pak polisi. Amin deh”, ujar saya dengan perasaan-sedih-namun-berusaha-terlihat-tetap-bercanda.
“hahaha…” tertawa bersama.
Satu lagi pemahaman tentang mimpi. Sekali
lagi Iman membuat saya berkaca; akal saya seringkali memberikan
pertanyaan ‘sebenernya gue hidup buat apa, sih?’ dan berpikir kalau
siklus anak-remaja-dewasa-bekerja-menikah-punyaketurunan-tua-mati adalah
siklus kehidupan yang menurut saya datar dan mau-tidak-mau harus kita
jalani. Dan ketika di Halmahera sana Iman sedang berusaha berjalan
selama 1,5 jam untuk menempuh pendidikan demi meraih mimpi, apakah saya
layak malas-malasan datang ke kampus juga untuk mendapatkan pengetahuan
baru? Saya merasa anak-anak seperti merekalah yang seharusnya banyak
diberikan kesempatan-kesempatan besar. Pengorbanan saya bahkan belum ada
seperempatnya dari perjuangan mereka dalam melakukan sesuatu untuk
menggapai mimpi. Saya malu.
Dari anak-anak tersebut saya belajar,
ternyata di sudut tanah air ini masih banyak anak-anak yang harus
berjuang untuk menggenggam erat apa itu mimpi. Iya, ternyata tidak semua
orang dapat mengenal dan meraih mimpi. Saya rasa, pertanyaan saya
segera terjawab: ‘Saya hidup untuk meraih mimpi’ pernah ada yang bilang, “Manusia tidak bisa hidup seharipun tanpa mimpi’ mengacu pada pernyataan tersebut, opini saya, mimpi adalah salah satu tujuan hidup para manusia.
Ironis, ketika melihat manusia itu dikejar
waktu untuk bekerja dan melupakan mimpi-mimpi masa lalunya. Yang mereka
buru hanyalah bagaimana cara mereka bertahan hidup dalam dunia
globalisasi. Padahal, hidup dengan mimpi saya yakini adalah hidup paling
dinamis, tidak datar, dan also the most fun and precious if we compared it with anything else.
Ada satu kutipan dari Handry Satriago, “Mimpi
tidak akan pernah mati. Manusia bisa dibungkam, dilumpuhkan bahkan
dibunuh, tapi mimpi tetap akan hidup. Ketika keterbatasan dan ketakutan
melanda, mimpi kita mungkin pecah, runtuh, dan berserakan, tapi tidak
akan hilang. Dengan usaha keras, kita bisa menyusunnya kembali, dan
ketika mimpi telah kembali utuh, ia akan hidup, menyala, dan memberikan
cahaya terhadap pilihan jalan yang akan ditempuh untuk mewujudkannya”
Bukan hanya ketiga ASM tersebut yang
menginspirasi, namun 7 anak lainnya juga telah menuliskan mimpinya,
membacakannya keras-keras, dan di dalam tulisannya, mereka semua
menyebutkan tidak akan putus sekolah dan berusaha keras untuk menggapai
mimpi mereka masing-masing.
Sedih rasanya 2 minggu ini telah dilewati
dengan segala pasang surut dan ikatan emosional yang erat terjalin,
bukan main perasaan ini ingin menampik mereka untuk kembali ke daerah
asal mereka masing-masing. Tapi apa mau dikata, sesuai dengan frase
“merantau untuk kembali” mereka memanglah harus kembali untuk menularkan
percik pemahaman dan pengalaman baru kepada teman-teman mereka di
kampung halaman.
Terimakasih Sabang Merauke, dengan ini saya
mendapatkan banyak sekali pelajaran hidup. Saya belajar bagaimana untuk
hidup dengan mimpi. Saya belajar tentang rasa dari toleransi itu
sendiri, mendidik dan menjadi orang berpendidikan dengan rendah hati,
dan bagaimana memiliki rasa nasionalisme yang tinggi untuk negeri.
Dengan tulisan ini saya menyatakan bahwa saya bangga pernah menjadi bagian dari orang-orang hebat dalam gerakan Sabang Merauke.
Sampai jumpa kalian semua, selamat merangkai mimpi!
Sumber: cheniaik.tumblr.com