BERITA TERKINI, Tahukah Anda, di balik
limpahan air 6,5 miliar meter kubik per tahun di Jakarta, hanya 3,3
persen yang bisa dikelola. Sebanyak 96,7 persen produksi air bersih
Jakarta dipenuhi dari wilayah tetangga, yaitu Waduk Ir H Djuanda yang
membendung Sungai Citarum di Purwakarta, Jawa Barat, dan suplai dari
Kabupaten Tangerang.
Walaupun mendapat pasokan dari luar wilayah,
kebutuhan air bersih dari perpipaan masih jauh dari cukup. Dewan Sumber
Daya Air DKI Jakarta mencatat kebutuhan air bersih DKI Jakarta sekitar 1
miliar meter kubik per tahun.
Dari jumlah itu, 370 juta meter
kubik di antaranya dipasok perusahaan air minum melalui jaringan pipa
dan sekitar 630 juta meter kubik dari air tanah.
Adapun cakupan
layanan air bersih melalui pipa saat ini baru 870.000 sambungan yang
menjangkau sekitar 45 persen target. Sementara tingkat kehilangan air
jaringan pipa masih tinggi, yakni 43 persen dari total suplai.
Angka
ini belum termasuk air yang dicuri dari jaringan pipa seperti yang
ditemukan operator PT Aetra Air pertengahan September 2013 di pertemuan
Jalan Yos Sudarso dan Jalan Enggano, Jakarta Utara.
Kenyataan
tersebut berdampak serius pada persoalan lingkungan. Harap maklum,
separuh lebih dari 10,1 juta jiwa warga Jakarta mengonsumsi air tanah
dangkal ataupun dalam. Tak hanya sektor rumah tangga, penyedotan dalam
skala lebih besar dilakukan pelaku usaha, baik legal maupun ilegal.
Berdasarkan
data Indonesia Water Institute, jumlah sumur pantek yang ada di Jakarta
bertambah dari 3.788 tahun 2007 menjadi 4.101 tahun 2009. Adapun volume
pemakaiannya mencapai 22,3 juta meter kubik tahun 2007 dan 18,9 juta
meter kubik tahun 2009. Tren yang sama terjadi pada tahun-tahun
berikutnya.
Dampak penyedotan air tanah ini adalah keroposnya
struktur tanah. Itu sebabnya laju penurunan muka tanah akan semakin
cepat dan bukan mustahil sebagian wilayah Jakarta akan tenggelam.
Prediksi
ini tidak main-main. Dengan asumsi penurunan muka tanah dan kenaikan
muka laut rata-rata 6 milimeter per tahun, ada 12,1 persen wilayah DKI
Jakarta berada di bawah permukaan laut tahun 2012.
Luas wilayah
yang turun hingga lebih rendah daripada muka laut akan bertambah menjadi
20,5 persen tahun 2025 dan 32,5 persen tahun 2050. Tanpa langkah
revolusioner, prediksi itu tinggal menunggu waktu.
Sumber: tribunnews.com