BERITA TERKINI, Gus Dur memang dikenal sebagai pencinta sepak bola.
Dia sering mengisi kolom sepak bola di media-media nasional. Ulasan
sepak bola Gus Dur juga dikenal tajam dan kompeten. Maka wajar bila
Sindhunata, wartawan olahraga senior Kompas menyebut Gus Dur sebagai
pengamat sepak bola andal.
"Ia (Gus Dur) kiai, negarawan, politikus, intelektual dan budayawan. Jangan lupa juga, ia masih memiliki predikat lain, sebagai pengamat sepak bola. Sebelum terganggu penglihatannya, Gus Dur adalah pengamat sepak bola andal," kata Sindhu dalam artikel berjudul: Kesebelasan Gus Dur yang diterbitkan Kompas Gramedia dalam buku: Gus Dur, santri par excellence: teladan sang guru bangsa.
Dalam artikel itu, Sindhunata mengatakan tulisan-tulisan Gus Dur tentang sepak bola menjadi pelengkap laporan tentang Piala Dunia atau Piala Eropa di media. Analisa Gus Dur juga dikenal tajam dan pas. Itu bukan hanya karena pengetahuannya, tapi juga karena intuisinya yang membuat dia bisa meramalkan hasil pertandingan, bukan dengan perhitungan tapi dengan meraba-raba kemungkinan.
Kegilaan Gus Dur terhadap Sepak Bola memang muncul sejak dia kecil. Gus Dur misalnya, sering kali bermain bersama ayahnya Abdul Wahid Hasyim saat tinggal di Jakarta saat kecil. Kegilaan itu semakin meningkat saat dia bermukim di Mesir. Di negeri Sungai Nil tersebut, selama hampir lima tahun, Gus Dur menimba ilmu di Universitas Al-Azhar Kairo.
Kisah kegemaran Gus Dur bermain sepak bola juga ditulis oleh Greg Barton dalam buku: Biografi Gus Dur. Barton bercerita, di sela-sela kegiatan intelektualnya, Gus Dur bisa juga memuaskan kegemarannya yang lain, yakni sepak bola. Akan tetapi, sebagaimana sifat yang menjadi ciri khasnya, ia terus-menerus mempelajari, menganalisis dan membedah permainan tim-tim sepak bola.
"Ia adalah penggemar sepak bola yang benar-benar tertarik pada strategi permainan olahraga ini. Di Mesir yang rakyatnya gila sepak bola, ia bisa memuaskan dahaganya menonton dan mengikuti pertandingan sepak bola."
Sepulang dari Mesir dan Baghdad, Gus Dur menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin di Universitas Hasyim Asyari (kini Institut Keislaman Hayim Asyari) di lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, pesantren peninggalan kakeknya. Ia juga mulai dikenal sebagai kolumnis di media massa. Tema tulisannya beragam, dari masalah sosial, politik, agama, budaya, hingga sepak bola nasional maupun internasional.
Syu'bah Asa, wartawan senior Majalah TEMPO, dalam kata pengantar buku: Melawan Melalui Lelucon, (kumpulan kolom Gus Dur di Tempo), mengatakan gaya tulisan Gus Dur unik namun bernas. "Berpikirnya ringan namun amot, perbendaharaannya banyak, dan pengungkapannya prosais."
Dari ratusan artikel dan kolom yang ditulisnya, beberapa menyangkut sepak bola. Baik saat mengulas Piala Eropa 1988, 1992 hingga 1996. Atau saat membahas World Cup 1982, 1986, 1990, 1994, hingga 1998. Bahkan Gus Dur saat diwawancarai salah satu televisi swasta, juga diminta memprediksi hasil pertandingan perdana antara Brasil Vs Skotlandia pada Piala Dunia 1998. Uniknya, skor prediksinya tepat, 2-1 untuk Brasil.
"Ia (Gus Dur) kiai, negarawan, politikus, intelektual dan budayawan. Jangan lupa juga, ia masih memiliki predikat lain, sebagai pengamat sepak bola. Sebelum terganggu penglihatannya, Gus Dur adalah pengamat sepak bola andal," kata Sindhu dalam artikel berjudul: Kesebelasan Gus Dur yang diterbitkan Kompas Gramedia dalam buku: Gus Dur, santri par excellence: teladan sang guru bangsa.
Dalam artikel itu, Sindhunata mengatakan tulisan-tulisan Gus Dur tentang sepak bola menjadi pelengkap laporan tentang Piala Dunia atau Piala Eropa di media. Analisa Gus Dur juga dikenal tajam dan pas. Itu bukan hanya karena pengetahuannya, tapi juga karena intuisinya yang membuat dia bisa meramalkan hasil pertandingan, bukan dengan perhitungan tapi dengan meraba-raba kemungkinan.
Kegilaan Gus Dur terhadap Sepak Bola memang muncul sejak dia kecil. Gus Dur misalnya, sering kali bermain bersama ayahnya Abdul Wahid Hasyim saat tinggal di Jakarta saat kecil. Kegilaan itu semakin meningkat saat dia bermukim di Mesir. Di negeri Sungai Nil tersebut, selama hampir lima tahun, Gus Dur menimba ilmu di Universitas Al-Azhar Kairo.
Kisah kegemaran Gus Dur bermain sepak bola juga ditulis oleh Greg Barton dalam buku: Biografi Gus Dur. Barton bercerita, di sela-sela kegiatan intelektualnya, Gus Dur bisa juga memuaskan kegemarannya yang lain, yakni sepak bola. Akan tetapi, sebagaimana sifat yang menjadi ciri khasnya, ia terus-menerus mempelajari, menganalisis dan membedah permainan tim-tim sepak bola.
"Ia adalah penggemar sepak bola yang benar-benar tertarik pada strategi permainan olahraga ini. Di Mesir yang rakyatnya gila sepak bola, ia bisa memuaskan dahaganya menonton dan mengikuti pertandingan sepak bola."
Sepulang dari Mesir dan Baghdad, Gus Dur menjadi Dekan Fakultas Ushuluddin di Universitas Hasyim Asyari (kini Institut Keislaman Hayim Asyari) di lingkungan Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, pesantren peninggalan kakeknya. Ia juga mulai dikenal sebagai kolumnis di media massa. Tema tulisannya beragam, dari masalah sosial, politik, agama, budaya, hingga sepak bola nasional maupun internasional.
Syu'bah Asa, wartawan senior Majalah TEMPO, dalam kata pengantar buku: Melawan Melalui Lelucon, (kumpulan kolom Gus Dur di Tempo), mengatakan gaya tulisan Gus Dur unik namun bernas. "Berpikirnya ringan namun amot, perbendaharaannya banyak, dan pengungkapannya prosais."
Dari ratusan artikel dan kolom yang ditulisnya, beberapa menyangkut sepak bola. Baik saat mengulas Piala Eropa 1988, 1992 hingga 1996. Atau saat membahas World Cup 1982, 1986, 1990, 1994, hingga 1998. Bahkan Gus Dur saat diwawancarai salah satu televisi swasta, juga diminta memprediksi hasil pertandingan perdana antara Brasil Vs Skotlandia pada Piala Dunia 1998. Uniknya, skor prediksinya tepat, 2-1 untuk Brasil.
Sumber: merdeka.com