BERITA TERKINI, Warga Desa Ngargosoko,
Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang mempunyai tradisi unik untuk
menyambut Pemilu Presiden 2014. Mereka menggelar ritual yang disebut
Satrio Piningit di desa yang terletak di lereng Gunung Merapi itu, Kamis (12/6/2014).
Ritual yang diikuti oleh puluhan orang laki-laki itu menceritakan pertarungan antara dua calon pemimpin yang merebut hati rakyat. Kisah itu digambarkan dalam tokoh Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada dengan setting masa kerjaan Majapahit puluhan abad silam. Cerita Satrio Piningit itu sama dengan Pilpres tahun ini.
Proses menuju terpilihnya pemimpin yang diinginkan tidak semudah dan semulus yang diharapkan. Banyak godaan dan halangan baik dari lingkungan maupun orang- orang di sekitar capres. Namun, pada akhirnya para pengacau bersatu mendukung pemimpin terpilih.
"Sebenarnya ini adalah saatnya untuk membangkitkan kejayaan zaman Majapahit yang kedua. Bedanya, dua pemimpin yang kita harapkan ini berdiri sendiri, tidak bergabung. Siapa yang terpilih nantinya, ya itulah yang terbaik untuk masa depan Indonesia," kata Agus Merapi, pemimpin ritual di sela kegiatan.
Pada ritual ini, Agus berharap nantinya pemimpin yang terpilih tidak hanya bersosok Satrio Piningit, tetapi juga berani dalam menumpas setiap jenis kejahatan dan keburukan yang terjadi selama ini serta yang akan datang.
"Dia juga harus mau berjuang untuk rakyat. Berani memberantas pejabat yang tidak benar. Indonesia akan makmur dan sejahtera jika mendapat pemimpin seperti itu," imbuhnya.
Ditambahkan Saryoto, warga setempat, ritual Satrio Piningit merupakan rangkaian dari kegiatan tahunan "khataman" Pondok Pesantren Mistakhudh Dholam di desa tersebut. Bedanya, tahun ini lebih meriah karena menjelang pelaksanaan pilpres.
"Biasanya khataman hanya diisi dengan arak- arakan menggunakan sepeda motor, pengajian, dan pentas kesenian tradisional seperti soreng, topeng ireng, dan jatilan. Tahun ini sengaja dibuat khusus untuk menyambut pilpres dan kurmat merapi (sesaji gunung)," papar Saryoto.
Kegiatan yang berlangsung hingga Minggu 15 Juni 2014 itu akan ditutup dengan pengajian akbar yang diikuti oleh sekitar 3.000 santri berikut orangtua di halaman Ponpes Mistakhudh Dholam. (src:tribunnews.com)
Ritual yang diikuti oleh puluhan orang laki-laki itu menceritakan pertarungan antara dua calon pemimpin yang merebut hati rakyat. Kisah itu digambarkan dalam tokoh Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada dengan setting masa kerjaan Majapahit puluhan abad silam. Cerita Satrio Piningit itu sama dengan Pilpres tahun ini.
Proses menuju terpilihnya pemimpin yang diinginkan tidak semudah dan semulus yang diharapkan. Banyak godaan dan halangan baik dari lingkungan maupun orang- orang di sekitar capres. Namun, pada akhirnya para pengacau bersatu mendukung pemimpin terpilih.
"Sebenarnya ini adalah saatnya untuk membangkitkan kejayaan zaman Majapahit yang kedua. Bedanya, dua pemimpin yang kita harapkan ini berdiri sendiri, tidak bergabung. Siapa yang terpilih nantinya, ya itulah yang terbaik untuk masa depan Indonesia," kata Agus Merapi, pemimpin ritual di sela kegiatan.
Pada ritual ini, Agus berharap nantinya pemimpin yang terpilih tidak hanya bersosok Satrio Piningit, tetapi juga berani dalam menumpas setiap jenis kejahatan dan keburukan yang terjadi selama ini serta yang akan datang.
"Dia juga harus mau berjuang untuk rakyat. Berani memberantas pejabat yang tidak benar. Indonesia akan makmur dan sejahtera jika mendapat pemimpin seperti itu," imbuhnya.
Ditambahkan Saryoto, warga setempat, ritual Satrio Piningit merupakan rangkaian dari kegiatan tahunan "khataman" Pondok Pesantren Mistakhudh Dholam di desa tersebut. Bedanya, tahun ini lebih meriah karena menjelang pelaksanaan pilpres.
"Biasanya khataman hanya diisi dengan arak- arakan menggunakan sepeda motor, pengajian, dan pentas kesenian tradisional seperti soreng, topeng ireng, dan jatilan. Tahun ini sengaja dibuat khusus untuk menyambut pilpres dan kurmat merapi (sesaji gunung)," papar Saryoto.
Kegiatan yang berlangsung hingga Minggu 15 Juni 2014 itu akan ditutup dengan pengajian akbar yang diikuti oleh sekitar 3.000 santri berikut orangtua di halaman Ponpes Mistakhudh Dholam. (src:tribunnews.com)